Syair Nasib Melayu
Perhatian
Tenas Effendy terhadap khazanah warisan budaya Melayu tidak diragukan
lagi. Perhatian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan
bagi peradaban manusia, terutama peradaban Melayu di Nusantara. Dalam
karya-karyanya, Tenas selalu menekankan pentingnya menjaga identitas
Melayu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya lokal,
karena nilai-nilai tersebut senafas dengan prinsip-prinsip ajaran agama
Islam. Agaknya, dasar pemikiran inilah yang mendorong Tenas begitu ulet
mengkaji kebudayaan Melayu, khususnya Melayu Riau dan Kepulauan Riau.
Banyak sudah buah karya Tenas yang telah dipublikasikan dan menjadi bahan rujukan di kalangan peneliti dan pecinta budaya Melayu. "Syair Nasib Melayu" adalah salah satu karyanya yang cukup bagus. Melalui buku ini, Tenas menuangkan pandangan-pandanganya terhadap Melayu modern tanpa melupakan realitas sejarah Melayu itu sendiri.
Realitas modern menciptakan persoalan-persoalan baru yang sangat kompleks di tengah masyarakat, mulai dari penetrasi kapitalisme global, kualitas pendidikan dan pengetahuan yang rendah, kerusakan moral, keterbatasan lahan pekerjaan, sampai kepada kerusakan lingkungan. Semua persoalan itu bagaikan benang kusut yang sangat sulit untuk diuraikan kembali. Masyarakat tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi itu. Fenomena ini sangat memilukan. Tenas Effendy mengakui bahwa kondisi semacam itu mempengaruhi cara pandang orang-orang Melayu terhadap sejarah dan budayanya.
Mungkin atas dasar itulah "Syair Nasib Melayu" ditulis. Syair ini berisikan refleksi penulisnya terhadap fenomena dan problematika Melayu masa kini. Misalnya perihal penyebab dari kemunduran awal Melayu modern, yang menurut Tenas dikarenakan ketertutupan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan modern, sebagaimana dituliskan dalam syair berikut ini: (bait 49, 50, 53)
Di bumi Melayu pembangunan pesat
Baik di laut maupun di darat
Banyak peluang boleh didapat
Banyak usaha boleh dibuat
Tetapi karena ilmu tak ada
Peluang yang ada terbuang saja
Diisi orang awak menganga
Akhirnya duduk mengurut dada
.........
Disinilah tempat Melayu jatuh
Karena banyak yang masih bodoh
Peluang yang dekat menjadi jauh
Nasib pun malang celaka tumbuh
Syair di atas mengisyaratkan bahwa ketika orang lain telah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, orang Melayu justru hanya berdiam diri atau berjalan di tempat. Padahal, jika saja mereka punya kemauan untuk membuka lembaran sejarah Melayu, maka banyak hal yang dapat dipelajari dan dipetik hikmahnya, serta menjadikan sejarah itu sebagai pedoman dalam membangun masa depan. Untuk membangun masyarakat yang terbuka, kuat dan demokratis, suatu masyarakat harus mempertahankan warisan sejarah dan budaya yang baik, dan pada saat yang sama mengadopsi hal-hal baru dari luar yang lebih baik. Masyarakat Melayu Riau pada kenyataannya kurang membuka diri terhadap kemajuan dan perkembangan modern karena mereka terlalu silau terhadap warisan sejarah dan budayanya, sehingga terbuai dengan masa lalunya.
Tenas cukup memahami karakter masyarakat Melayu Riau yang cenderung “pemalas”. Sifat inilah yang membawa mereka pada keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam syairnya Tenas menulis (bait 94):
Walau Melayu bertanah luas
Tetapi terlantar karena malas
Dimanfaatkan orang awak pun cemas
Lambat laun semuanya lepas.
Di bagian akhir syairnya, Tenas menjelaskan secara detil karakter- karakter lain orang Melayu Riau. Meminjam perkataan Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Melayu Yogyakarta, Tenas cukup jujur dalam menilai karakter orang Melayu.
Dalam syair ini, tidak lupa pula Tenas memberikan sugesti kepada generasi-generasi muda Melayu sebagai pewaris kebudayaan, seperti termaktub dalam syair di bawah ini (bait 255 dan 256):
Ke generasi muda kita berharap
Kuatkan semangat betulkan sikap
Kokohkan iman tinggikan adab
Supaya Melayu berdiri tegap
Ke generasi muda kita berpesan
Hapuslan sifat malas dan segan
Isilah diri dengan ilmu pengetahuan
Supaya Melayu tidak ketinggalan
Karya sastra yang diselesaikan pada tahun 1990 ini merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya. Dalam buku ini, Tenas banyak memotret kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Riau sebelum tahun 1990. Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, syair-syair tersebut masih memiliki relevansi dengan kondisi sekarang, karena proses penulisannya berlangsung dalam sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.
Sebagai karya sastra, "Syair Nasib Melayu" masih menampilkan gaya penulisan tradisi sastra kuno, tanpa melepaskan gaya modernnya. Beberapa bait di atas adalah salah satu contohnya. Inilah salah satu unsur yang membuat karya sastra ini begitu nikmat untuk dibaca dan diresapi. Selain itu, gaya kritik sosial yang dibangun, menurut penilaian Al Azhar, dalam prakatanya, mirip dengan sejumlah syair “Lingkaran Penyengat”, seperti Syair Lebai Guntur, Syair Awai, Syair Kadamuddin, dan lain sebagainya. Dengan diterbitkannya karya ini, telah bertambah khazanah kesusastraan Melayu.
"Syair Nasib Melayu " menjadi penting di kalangan peneliti dan pencinta budaya Melayu karena memuat gambaran utuh namun ringkas tentang sejarah, karakter, dan tantangan Melayu di masa depan. Tanpa bermaksud untuk berlebihan, bagi orang Melayu sendiri, hadirnya karya sastra ini ibarat cermin datar yang menjalaskan realita secara apa adanya, baik kelebihan maupun kekuranganya.
Banyak sudah buah karya Tenas yang telah dipublikasikan dan menjadi bahan rujukan di kalangan peneliti dan pecinta budaya Melayu. "Syair Nasib Melayu" adalah salah satu karyanya yang cukup bagus. Melalui buku ini, Tenas menuangkan pandangan-pandanganya terhadap Melayu modern tanpa melupakan realitas sejarah Melayu itu sendiri.
Realitas modern menciptakan persoalan-persoalan baru yang sangat kompleks di tengah masyarakat, mulai dari penetrasi kapitalisme global, kualitas pendidikan dan pengetahuan yang rendah, kerusakan moral, keterbatasan lahan pekerjaan, sampai kepada kerusakan lingkungan. Semua persoalan itu bagaikan benang kusut yang sangat sulit untuk diuraikan kembali. Masyarakat tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi itu. Fenomena ini sangat memilukan. Tenas Effendy mengakui bahwa kondisi semacam itu mempengaruhi cara pandang orang-orang Melayu terhadap sejarah dan budayanya.
Mungkin atas dasar itulah "Syair Nasib Melayu" ditulis. Syair ini berisikan refleksi penulisnya terhadap fenomena dan problematika Melayu masa kini. Misalnya perihal penyebab dari kemunduran awal Melayu modern, yang menurut Tenas dikarenakan ketertutupan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan modern, sebagaimana dituliskan dalam syair berikut ini: (bait 49, 50, 53)
Di bumi Melayu pembangunan pesat
Baik di laut maupun di darat
Banyak peluang boleh didapat
Banyak usaha boleh dibuat
Tetapi karena ilmu tak ada
Peluang yang ada terbuang saja
Diisi orang awak menganga
Akhirnya duduk mengurut dada
.........
Disinilah tempat Melayu jatuh
Karena banyak yang masih bodoh
Peluang yang dekat menjadi jauh
Nasib pun malang celaka tumbuh
Syair di atas mengisyaratkan bahwa ketika orang lain telah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, orang Melayu justru hanya berdiam diri atau berjalan di tempat. Padahal, jika saja mereka punya kemauan untuk membuka lembaran sejarah Melayu, maka banyak hal yang dapat dipelajari dan dipetik hikmahnya, serta menjadikan sejarah itu sebagai pedoman dalam membangun masa depan. Untuk membangun masyarakat yang terbuka, kuat dan demokratis, suatu masyarakat harus mempertahankan warisan sejarah dan budaya yang baik, dan pada saat yang sama mengadopsi hal-hal baru dari luar yang lebih baik. Masyarakat Melayu Riau pada kenyataannya kurang membuka diri terhadap kemajuan dan perkembangan modern karena mereka terlalu silau terhadap warisan sejarah dan budayanya, sehingga terbuai dengan masa lalunya.
Tenas cukup memahami karakter masyarakat Melayu Riau yang cenderung “pemalas”. Sifat inilah yang membawa mereka pada keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam syairnya Tenas menulis (bait 94):
Walau Melayu bertanah luas
Tetapi terlantar karena malas
Dimanfaatkan orang awak pun cemas
Lambat laun semuanya lepas.
Di bagian akhir syairnya, Tenas menjelaskan secara detil karakter- karakter lain orang Melayu Riau. Meminjam perkataan Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Melayu Yogyakarta, Tenas cukup jujur dalam menilai karakter orang Melayu.
Dalam syair ini, tidak lupa pula Tenas memberikan sugesti kepada generasi-generasi muda Melayu sebagai pewaris kebudayaan, seperti termaktub dalam syair di bawah ini (bait 255 dan 256):
Ke generasi muda kita berharap
Kuatkan semangat betulkan sikap
Kokohkan iman tinggikan adab
Supaya Melayu berdiri tegap
Ke generasi muda kita berpesan
Hapuslan sifat malas dan segan
Isilah diri dengan ilmu pengetahuan
Supaya Melayu tidak ketinggalan
Karya sastra yang diselesaikan pada tahun 1990 ini merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya. Dalam buku ini, Tenas banyak memotret kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Riau sebelum tahun 1990. Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, syair-syair tersebut masih memiliki relevansi dengan kondisi sekarang, karena proses penulisannya berlangsung dalam sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.
Sebagai karya sastra, "Syair Nasib Melayu" masih menampilkan gaya penulisan tradisi sastra kuno, tanpa melepaskan gaya modernnya. Beberapa bait di atas adalah salah satu contohnya. Inilah salah satu unsur yang membuat karya sastra ini begitu nikmat untuk dibaca dan diresapi. Selain itu, gaya kritik sosial yang dibangun, menurut penilaian Al Azhar, dalam prakatanya, mirip dengan sejumlah syair “Lingkaran Penyengat”, seperti Syair Lebai Guntur, Syair Awai, Syair Kadamuddin, dan lain sebagainya. Dengan diterbitkannya karya ini, telah bertambah khazanah kesusastraan Melayu.
"Syair Nasib Melayu " menjadi penting di kalangan peneliti dan pencinta budaya Melayu karena memuat gambaran utuh namun ringkas tentang sejarah, karakter, dan tantangan Melayu di masa depan. Tanpa bermaksud untuk berlebihan, bagi orang Melayu sendiri, hadirnya karya sastra ini ibarat cermin datar yang menjalaskan realita secara apa adanya, baik kelebihan maupun kekuranganya.
Penulis : Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/85/Syair-Nasib-Melayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar