Sabtu, 11 Februari 2012

Perpustakaan Melayu Riau yang Nyaris Roboh



Oleh: Noer Faisal[2]
Raja Malik Afrizal (37), tertunduk lesu menatap beberapa meriam sisa-sisa peninggalan kerajaan Melayu Riau di Benteng Bukit Kursi, Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Meriam peninggalan sejarah dalam memperjuangan kemerdekaan bangsa itu hanya tinggal menunggu waktu saja, kondisinya yang sudah lusuh dan tak terawat seakan mendekatkannya menjadi barang rongsokan yang tidak berharga.
Raja Malik Afrizal, salah satu pewaris dan keturunan Yang Dipertuan Muda Riau yang masih tinggal di Pulau Penyengat. Tugasnya mengumpulkan seluruh peninggalan yang ada di pulau tersebut, baik berupa benda cagar budaya maupun catatan-catatan tentang riwayat kerajaan Melayu Riau selama berada di Pulau Penyengat.
Peninggalan sejarah yang ada disini nyaris tidak sanggup dipertahankan, kondisinya mulai keropos. Hanya beberapa tempat saja yang masih terawat dengan baik. “Perhatian pemerintah sangat kurang dalam merawat cagar budaya ini,” kata Raja Malik.
Sejarah pulau Penyengat memang cukup panjang dan hampir terlupakan. Dari pulau seluas 3,5 kilometer ini, telah lahir seorang pujangga yang menyusun kaidah-kaidah tata bahasa, ejaan dan perkamusan bahasa melayu, yakni Raja Ali Haji. Penyusunan kaidah tata bahasa Melayu tersebut merupakan pengejawantahan dari keyakinan  Raja Ali Haji bahwa bahasa Melayu Riau layak dipakai sebagai bahasa surat-menyurat, bahasa buku, dan kesusastraan.
Pulau Penyengat terletak di sebelah barat kota Tanjung Pinang, dengan jarak sekitar 1,5 kilometer. Tanjung Pinang sendiri berada sekitar 10 kilometer sebelah timur laut Pulau Batam, kota industri di Provinsi Kepulauan Riau. Penduduk pulau kecil ini berdasarkan sensus tahun 2005 hanya sebesar 2.224 jiwa.
Letak pulau ini sangat strategis, jika sedang berada di puncak Benteng Bukit Kursi, secara kasat mata dapat melihat berbagai kapal-kapal ferry yang sedang masuk ke dan keluar dari pelabuhan di Tanjung Pinang. Tidak hanya kapal ferry, semua aktivitas ke luar-masuk wilayah pedalaman Riau dapat terpantau dari bukit ini. Posisinya persis seperti sebuah pos penjagaan di pintu gerbang utama.
Tidak salah jika pada perang Riau melawan Belanda pada tahun 1782 hingga 1784, Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pertahanan yang utama. Sistem pertahanan di Pulau Penyengat sudah meniru gaya pertahanan Portugis, yaitu mengelilingi pulau dengan benteng batu-batu cadas. Saat ini sisanya masih dapat terlihat, namun dalam kondisi yang tidak terawat.
Keberadaan Pulau Penyengat semakin penting tatkala pada tahun 1803 status sebagai pusat pertahanan ditingkatkan menjadi sebuah negeri. Dengan demikian, Pulau Penyengat dikepalai oleh Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, tangan kanan Sultan dalam memerintah. Sedangkan Sultan ketika itu masih berada di pusat pemerintahaan di Daik Lingga, kini menjadi Kabupaten Lingga.
Baru kemudian pada tahun 1900, Sultan Abdul Rahman Muazam Syah yang memerintah Kerajaan Melayu Riau memindahkan pusat pemerintahaan ke Pulau Penyengat. Sultan Abdul Rahman memerintah dari tahun 1883 hingga 1911. Sultan ini berkuasa dari Riau hingga Johor dan Pahang (kini Malaysia).
Seiring dengan semakin berkembangnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahaan, penyebaran agama Islam, dan kebudayaan Melayu, tempat ini menjadi kawasan yang cukup penting. Namun situasi perebutan kekuasaan negara-negara Barat terhadap Selat Malaka menjadikan Pulau Penyengat kembali meredup. Sultan Abdul Rahman yang tidak bersedia menandatangani kontrak yang isinya menghilangkan hak dan kekuasaan raja dan pembesar-pembesar tradisional Riau pindah ke Singapura, untuk menghindari kekuatan Belanda.
Ketika sampai di Singapura, raja memerintahkan kepada rakyat di pulau penyengat untuk menghancurkan istana, dan gedung-gedung yang dianggap penting. Karena ada kabar ketika itu Belanda akan mengambil alih. Makanya, walaupun belum sampai 100 tahun kesultanan Riau Lingga berakhir, istananya sudah tidak ada. Hanya puing-puing saja, kata Raja Malik menceritakan riwayat Pulau Penyengat.
 
Sumber pembiayaan tidak jelas
Kebesaran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahaan Melayu Riau secara fisik dapat terlihat dari Mesjid Raya Penyengat yang masih berdiri kokoh. Masjid yang didirikan pada tahun 1832 Masehi oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman ini memiliki kubah atau menara sebanyak 17 buah. Jumlah ini sama dengan jumlah rakaat sembahyang wajib umat Islam. Hanya tempat inilah yang saat ini masih sering dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka menghormati budaya-budaya Melayu oleh tokoh politik di Kepulauan Riau. Di masjid ini, juga terkumpul ribuan buku yang berisikan tentang pengetahuan agama Islam yang dicetak dizamannya.
Selain masjid yang masih berdiri kokoh, ada beberapa tempat lainnya yang tiap akhir pekan menjadi objek rekreasi para wisatawan lokal dan mancanegara. Yakni, makam raja-raja atau keturunan raja-raja yang masih berada di Pulau itu. Di Pulau Penyengat ada empat kompleks makam keturunan raja yang masih berdiri dengan baik. Setiap pengunjung dari berbagai latar belakang sosial menyempatkan diri untuk menyinggahi makam-makan keturunan raja tersebut, ada yang berdoa untuk orang yang dikubur tersebut atau yang minta didoakan agar sukses dalam mencapai tujuannya.
Selain itu, ada Istana Kantor, sebuah balai pertemuan antara pengurus kerajaan yang juga masih berdiri, benteng Bukit Kursi dan beberapa tempat lainnya. Namun, seluruh peninggalan kerajaan Melayu Riau tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan.
Walaupun dari luar terlihat berdiri dengan baik, namun jika ditelesik dengan kasat mata, bangunan tersebut dalam kondisi yang hampir roboh, atap-atap di beberapa bangunan sudah mulai terkelupas, tiang kayunya mulai lapuk. Dindingnya mulai kusam dan sampah berserakan dimana-mana.
Tidak jarang pula pasangan muda-mudi yang berkunjung ke tempat itu menggunakan beberapa sekat-sekat ruangan tertutup untuk saling mengobrol, tidak ada penjagaan secara khusus oleh keturunan kerajaan atau oleh Pemerintah Kota (Pemko) Tanjung Pinang terhadap seluruh aset-aset cagar budaya yang ada itu.
Para pengunjung tidak dipungut biayamasuk. Mereka bebas masuk dan melihat seluruh peninggalan yang ada. Pemugaran pernah dilakukan, tetapi bersifat insidentil dan tidak terencana. “Pulau ini butuh perhatian secara kontinyu,” kata Raja Malik.
Berdasarkan catatan Raja Malik, tiap akhir pekan seperti Sabtu dan Minggu tidak kurang ada 500 pengunjung yang datang ke pulau ini. Bahkan, ketika hari libur pada Idul Fitri dan Idul Adha, pulau ini dibanjiri oleh kaum Muslimin yang ingin berekreasi serta menunaikan shalat di Masjid Raya Penyengat yang jumlahnya bisa mencapai 1.000 orang.
Satu-satunya pendapatan bagi Pulau ini, selain anggaran dari Pemerintah Kota (Pemko) Tanjung Pinang yang tidak pasti tiap tahunnya, persatuan pengemudi boat pancung, kapal kayu yang membawa wisatawan dari Tanjung Pinang ke Penyengat dan sebaliknya, menyisihkan beberapa rupiah per penumpang untuk Pulau Penyengat. Dari biaya sebesar Rp7.000 per orang, sekitar Rp1.000 disisihkan untuk perawatan pulau ini.
Hanya dari situ saja yang sudah pasti, sedangkan biaya dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab, tidak jelas. Anda lihat sendiri kondisi pulau ini. Sampah berserakan. Tidak ada keinginan agar ini menjadi aset budaya yang memiliki daya jual. Padahal para pewaris tahta kerajaan hanya ingin melihat pulau ini baik, kata Raja Malik.
 
Perpustakaan
Di pulau ini juga terdapat sebuah Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat yang didirikan oleh almarhum Raja Hamzah Yunus, ayahanda Raja Malik, yayasan ini telah berhasil mengumpulkan seluruh catatan-catatan sejarah asli yang dicetak pada zamannya. Seperti majalah di zaman kerajaan Melayu riau, catatan ketabiban/kedokteran, catatan ilmu pengetahuan seks, dan tata bahasa yang dihasilkan oleh Raja Ali Haji. Raja Ali Haji telah diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional dari Kepulauan Riau, selain dikenal sebagai penelur tata bahasa, Raja Ali Haji juga dikenal dengan Gurindam-nya. Raja Ali Haji merupakan salah satu anak dari Yang Dipertuan Muda kerajaan Melayu Riau.
Beberapa peneliti kerajaan Melayu baik di Singapura, Malaysia dan Belanda secara kontinyu datang ke pulau ini. Program khusus tentang Melayu dari universitas di Singapura, mewajibkan mahasiswanya datang ke pulau untuk melihat sisa-sisa kejayaan kerajaan Melayu, kata Raja Malik.
--------------ooOoo----------------

[1] Tulisan ini telah diedit seperlunya oleh redaktur www.rajaalihaji.com. Naskah asli tulisan ini dapat dilihat di http://www.hupelita.com/baca.php?id=47072.

Sejarah Perkembangan Melayu Indonesia Dengan Melayu Malaysia

Sejarah Perkembangan Melayu Indonesia Dengan Melayu Malaysia

Pada dasarnya melayu indonesia dan melayu malaysia merupakan satu suku yang sesungguhnya tidak ada bedanya ,Hanya karena penjajahanlah maka suku Melayu ini terpisah. Malaysia (dari kata Melayu) yang dijajah Inggris menjadi negara Malaysia, sementara Indonesia dari berbagai suku (termasuk Ambon dan Papua) yang dijajah Belanda jadi negara Indonesia. 
Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi) Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. 
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan. Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai. 
Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah Perancis di Kepulauan Nusantara. Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada tahun 1819. Orang-orang Belanda datanga pertama kali ke Indonesia bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche OOst-Indie (India Belanda). 
Di sinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British Est India, yang pada saat itu masih beroperasi di anak benua India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Segeralah muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaab kolonial: Inggris, Beanda, dan Portugis. Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggrs dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antarakedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau. Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. 
Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. 
Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi. Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. 
Bahkan, sejak berlakunya Persetujuan London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka. Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. 
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Melayu Indonesia adalah suku Melayu yang tinggal di sepanjang Indonesia, sebagai salah satu suku asli negara pulau tersebut. Indonesia mempunyai penduduk Melayu kedua besar selepas Malaysia. 
Menurut sejarah, Bahasa Indonesia,yaitu bahasa kebangsaan Indonesia, berasal dari Bahasa Melayu yang ditutur di Riau, sebuah provinsi di Sumatra timur. Ada beberapa bilangan kerajaan Melayu di Indonesia yang meliputi pulau Sumatra dan Kalimantan, yang mana sesetengahnya yang terkenal adalah Srivijaya, Kerajaan Melayu, Kesultanan Deli, Kesultanan Johor-Riau dan Kesultanan Sambas, Di riau masih bnyak juga peninggalan dan kerajaan-kerajaan melayu seperti Siak dan Bengkalis,dapat kita lihat pada melayu di riau terutama di bengkalis melayunya sangat kental sekali dan bisa di bilang masih tulen. Beda dengan kota-kota tetangganya sudah bercampur aduk dengan suku minang sehingga bahasa melayu pun dikota tersebut mulai hilang seperti kota Dumai,Siak,Pekanbaru dan kota-kota tetangganya. 
Apakah melayu indonesia melayu bajakan???? jawabanya tidak, seperti yang saya bahas tadi melayu terpisah karena penjajah, jadi intinya melayu kita satu yang membedakan adalah dari segi bahasa yang ujung bahasa "O" dan "E". Contoh : mengapo (versi Indonesia) mengape (versi Malaysia), ada juga melayu indonesia memakai bahasa yang vokal ujungnya adalah "E" yaitu kota Bengkalis.itu pun hanya sebagian kecil, kepualauan Riau, daerah SUMUT Deli Serdang dan pada umunya melayu Indonesia memakai ujung vokalnya adalah O Pokoknya Takkan Melayu Hilang Dimuka Bumi....!!! (dari berbagai sumber artikel melayu)
 
http://www.gagasanriau.com
 

Pulau Penyengat, Pusat Kebudayaan Melayu yang Terlupakan

Pulau Penyengat, Pusat Kebudayaan Melayu yang Terlupakan

Secara Geografis, suku melayu mendiami semananjung Malaya, Pulau Sumatera serta beberapa gugusan pulau yang berada di Selat Malaka. Beberapa abad yang lalu, suku melayu pernah berjaya membentuk sebuah negeri yang besar, kerajaan yang disegani di zamannya. Sebut saja kerajaan Sriwijaya (Palembang), kerajaan Malaka (Malaysia), Kerajaan Johor (Malaysia), Kerajaan Lingga (Kepulauan Riau), Kerajaan Pattani (Pattani - Thailand) dan Kerajaan Siak (Riau). 
Identitas kemelayuan mempunyai ciri khas yang tidak bisa di pisahkan dengan identitas keislaman. Karena kepulauan Sumatera dan Malaya adalah pintu gerbang pusat perdagangan di Asia Tenggara di masa lalu, yang menghubungkan antara Cina dan India, Cina dan Timur Tengah melalui rute perjalanan laut. Jadi tidak heran jika perkembangan Islam lebih awal jika dibandingkan dengan daerah-daeral lain di nusantara.

Kerajaan Melayu Lingga terletak di Kepulauan Riau, tepatnya di Pulau Penyengat. Pulau ini adalah sebuah pulau kecil yang terletak sekitar 5 menit perjalanan laut dari pelabuhan Tanjung Pinang. Lebar pulau Penyengat tidak terlalu luas. Jalanan bagus terbuat dari semen yang bisa dilewati oleh kendaraan bermotor, yang menghubungkan setiap situs-situs sejarah yang ada dipulau tersebut. Jika berjalan kaki bisa di tempuh sekitar satu jam, dan sudah bisa mengelilingi pulau ini. Atau bisa mengelilingi pulau dengan naik ojek, yang harganya relatif murah untuk mengunjungi situs-situs bersejarah pusat peninggalan Kerajaan Melayu. 
Apa yang ada di Pulau Penyengat?
Pulau penyengat sangat indah. Karena struktur alamnya yang dikelilingi laut dan strategis, sehingga tidak heran jika Pusat Kerajaan Melayu Lingga berada disini, karena pertimbangan keamanan dimasa itu. Disini anda dapat menyaksikan secara langsung bangunan-bangunan peninggalan yang masih berdiri kokoh, baik itu Istana Kerajaan, benteng petahanan, beberapa meriam yang berhadapan langsung dengan laut, mesjid kerajaan yang masih di pakai hingga sekarang, makam Raja-raja Penyengat, situs kebudayaan melayu dan lain-lain. Mesjid kerajaan terletak tepat di depan dermaga, seakan-akan dia yang akan menyambut kedatangan sesorang. Mesjid ini strukturnya sangat kokoh, dengan lebar semua dindingnya setebal sekitar 30 cm. konon menurut sejarah, mesjid ini terbuat dari kuning telur sebagai perekat. Mesjid inilah, salah satu bangunan yang masih terpakai hingga sekarang.
Tapi sayang, bangunan-bangunan yang menyimpan beribu sejarah perkembangan kebudayaan melayu kelihatan tidak terurus. Beberapa bangunan dibiarkan ditumbuhi rumput menjalar dan hancur begitu saja. Bahkan beberapa situs bangunan tinggal puing-puing saja. Ada yang roboh dimakan usia, tidak ada usaha perbaikan dari pihak terkait. Tetapi walaupun begitu, kita bisa melihat keperkasaan dan kemegahan Kebudayaan Melayu Lingga pada situs-situs yang masih berdiri kokoh, seperti Istana, benteng pertahanan, tempat tinggal kaum bangsawan, meriam, kuburan raja-raja, mesjid dan lain-lain. 
“Melayu negeri seribu pantun”. 
Memang melayu identik dengan pantun. Dari sejarah, kita tidak bisa melepaskan satu nama besar yang memelopori perkembangan kebudayaan melayu terkenal ke Nusantara, dunia, hingga ke Timur Tengah saat itu, bahkan kebudayaan baik bangunan dan syair-syair pantun masih bisa dilihat dan terdengar hingga sekarang. Nama itu adalah Raja Ali Haji. Raja Ali Haji, merupakan keturunan bangsawan asal Bugis. 
Dia merupakan seorang raja, dan juga budayawan. Hasil karyanya yang monumental hingga saat ini masih bisa dinikmati adalah “Gurindam Dua belas” dan Pengenalan Aksara Jawi (tulisan arab melayu). 
Gurindam Dua Belas adalah syair-syair pantun yang berisikan nasihat-nasihat yang kental dengan nuansa Islami. Aksara Jawi (Tulisan Arab Melayu) adalah hasil karyanya yang masih bertahan hingga sekarang dan masih diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di Riau Daratan dan Kepulauan Riau. 
Aksara ini menggunakan aksara arab yang di ubah sedemikian rupa hingga bisa membunyikan huruf sesuai dengan bahasa melayu, karena aksara jawi ini berbahasa melayu. Selintas kita akan melihat tulisan ini adalah tulisan arab, tapi bahasa yang dipakai adalah bahasa melayu. Sehingga syarat untuk bisa membacanya adalah mengetahui aksara arab dan menguasai bahasa melayu. Gurindam Dua Belas yang aslipun menggunakan aksara jawi ini. 
Sungguh sangat disayangkan, pusat dan peninggalan Kebudayaan Melayu seakan hilang dan ditelan zaman. Jangankan mengembangkan, menjaganya pun seakan kita tidak sanggup. Akankah dia hilang terkubur waktu ??
Syair-syair pantun yang syarat dengan hikmah keteladanan, kebijaksanaan, pendidikan dan lain-lain seakan sebuah barang yang asing bagi kita.(Kaskus.com )
 

Senin, 06 Februari 2012

Hikayat Hang Tuah Analisis Struktur dan Fungsi


Hikayat Hang Tuah Analisis Struktur dan Fungsi

Ketika kita membincangkan tema sastra, hal pertama kali yang teringat adalah pandangan Plato mengenai sastra. Menurut Plato, sastra hanyalah mimesis, tiruan atau gambaran dari kenyataan. Artinya, yang diekspresikan dalam karya sastra adalah kenyataan yang kurang, padahal yang ingin dicapai orang adalah ide-ide yang ada di balik kenyataan tersebut. Seniman itu – karena sifat pekerjaannya – demi keberhasilannya, terpaksa menonjolkan sifat-sifat rendah manusia. Seninya tidak bertujuan untuk menonjolkan segi rasional jiwanya, yaitu sifat manusia yang paling luhur. Jika seni bermaksud demikian, maka berarti seni hanya meningkatkan nafsu yang sebenarnya harus ditekan. Berdasarkan tiga keberatan di atas, maka sastra tidak perlu dipandang sungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran (D. Daiches, 1956).

Berbeda dengan Plato, Aristoteles memandang sastra secara lebih positif. Aristoteles menganggap bahwa sastra justru merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya di samping kegiatan lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Karena itu, sastra layak untuk diapresiasi sehingga muncullah pemahaman atas karya sastra sebagai a unified whole. Artinya, bahwa seluruh bagian dalam karya sastra merupakan bahan organik pembangun hasil seni itu. Dalam mengkaji sastra, maka kajian struktur adalah penting untuk mengetahui arti keseluruhan karya sastra tersebut. Dalam konteks ini, maka sastra perlu untuk dikaji dan dipelajari.

Buku karangan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini adalah salah satu buku yang mencoba mengkaji salah satu karya sastra terbesar Melayu, yaitu Hikayat Hang Tuah (HHT), dari sisi struktur dan fungsi. Kajian struktur dan fungsi bertujuan untuk mencari unsur terdalam dalam sebuah karya sastra. Dalam bidang antropologi dan sastra, kajian ini banyak memakai epistimologi struktural fungsional. Seperti dikatakan oleh Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pengantar buku ini, buku karya Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini merupakan kajian sastra yang serius, namun sayangnya justru analisis tentang struktural fungsional itu sendiri tidak ada. Untuk itu, pembaca sebaiknya memahami dahulu apa itu struktural fungsional sebelum lebih jauh membaca buku ini.
Hikayat Hang Tuah dalam Kajian yang Sudah Ada

Hikayat Hang Tuah (HHT) dikenal sebagai salah satu karya sastra tradisional Melayu. HHT sudah dikenal sejak lama oleh para pengkaji sastra di dunia. HHT secara umum mengisahkan tentang sosok Hang Tuah. Hang Tuah adalah tokoh penting dalam alam pikiran orang Melayu. Ungkapan paling terkenal yang konon yang berasal dari Hang Tuah adalah “Tak Kan Melayu hilang di dunia”. Dalam HHT, Hang Tuah diceritakan berlayar mengelilingi dunia dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika. Berdasarkan perjalanan Hang Tuah inilah, puak-puak Melayu meyakini bahwa suku Melayu juga tersebar dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika.

Sebagai sebuah karya sastra Melayu, HHT telah menjadi bahan kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik oleh ahli sastra dari luar maupun ahli dari puak Melayu sendiri. Kajian-kajian tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula.

Nama HHT konon pertama kali didengungkan oleh pendeta Belanda yang bernama Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Niuews Oost-Indien (1726) yang terdiri dari tujuh jilid. Pada jilid V, dalam lukisannya tentang Malaka, dia menyebutkan sebuah karya Melayu yang indah yang bernama Hikayat Hang Tuah. Namun, dalam buku ini HHT disalahartikan dengan kitab Sulalatus Salatin (sultan-sultan Malaka), yaitu nama lain untuk Sejarah Melayu. Hal yang sama juga dilakukan oleh G.H. Werndly, seorang pendeta Swiss. Menurutnya, Hang Tuah adalah pengarang buku sejarah Melayu dan Iskandar Zulkarnain adalah nenek moyang raja-raja Melayu.

Pada tahun 1854, E. Netscher menolak anggapan tentang HHT sebagai karangan sejarah. Baginya, HHT adalah sebuah roman yang amat penting, yang menampilkan tata cara hidup Melayu beberapa abad yang lalu. Sementara itu, peneliti Inggris yang bernama John Eyden menyebut HHT sebagai roman sejarah yang di dalamnya fiksi dan data sejarah tercampur.

Dalam buku History of Indian Archipelago (1820), John Crawfurd menganggap HHT sebagai cerita yang tidak masuk akal dan kekanak-kanakan. HHT hanya bernilai ketika mengisahkan tentang budi pekerti dan cara hidup orang Melayu. Sementara itu, seorang ahli bahasa dan sastra Melayu dari Rusia yang bernama B. Parnickel, dalam buku An Epic Hero and: an Epic Traitor in the Hikayat Hang Tuah, menganggap HHT sebagai karya sastra hasil masyarakat feodal. Baginya, pada awalnya Hang Tuah adalah pahlawan rakyat yang membela kepentingan kalangan kelas menengah melawan Raja yang lalim. Buku tersebut kemudian jatuh ke tangan ke kelas feodal dan diubah sesuai kepentingan kaum feodal.

Dalam buku A study of Genre: Meaning and Form in The Malay Hikayat Hang Tuah (1975), dan dalam kertas kerjanya berjudul Some Comments on Style in The Meaning of The Past (1976), Erington memandang HHT sebagai sejenis karya sejarah dalam hal menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah, terutama adanya pengiriman utusan Melayu ke Rum untuk membeli senjata dan peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis.

Para peneliti dari puak Melayu memandang HHT dengan cara yang beragam pula. Sebagian besar menganggap karya ini sebagai karya fiksi. Pandangan ini disampaikan oleh Abdul Azis Mone (1972) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Kesusasteraan Indonesia Lama. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Abdul Ghani Suratman (1963) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Bidang Sastera Melayu Lama, Anas Haji Ahmad (1962) dalam buku Kenapa Hikayat Hang Tuah bukan Satu Penulisan sejarah?, dan MD. Zahari bin Md. Zain (1970) dalam buku Persamaan dan Perbedaan antara Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu.

Ada pula peneliti yang memandang HHT sebagai karya sejarah. Pandangan ini diungkapkan antara lain oleh Abdul Khadi Ahmad 1963 dalam buku Hang Tuah Sebenarnya Ada Hidup - Buku Sejarah Melayu menjadi Buktinya, Ahmad Sarji Abdul Hamid (1960) dalam buku Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, dan Abu Hasan Syam (1976) dalam buku Wanita dalam HHT: Imej Wanita dalam Hikayat Hang Tuah. Ada juga peneliti yang lain mengklasifikasikan HHT sebagai karya sastra dengan kategori “karya sastra lain”. Pandangan ini disampaikan oleh Abu Hasan Sham (1976) dalam buku Perbandingan antara Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Inderaputera dan Nilai-nilia Tradisional dalam HHT. Nilai-nilai Masyarakat Melayu Tradisional dilihat dari Hikayat Hang Tuah.

Kassim Ahmad dari Universitas Malaya dalam buku teks Hikayat Hang Tuah (1964) menganggap bahwa HHT bukan karya sejarah melainkan karya sastra Melayu asli yang melahirkan cita-cita dan kebesaran bangsa Melayu. Menurut Kassim Ahmad, pengarang HHT tidak mempedulikan tata tertib sejarah. Dia hendak menciptakan manusia Hang Tuah yang luar biasa.

HHT memang merupakan sebuah karya sastra yang besar dan penting untuk dikaji jika kita melihat berbagai kajian di atas. Kesimpulan yang beragam tentang HHT justru menunjukan bahwa HHT ikut melambungkan kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan besar dunia.
Hikayat Hang Tuah di Mata Sulastin Sutrisno

Pada akhir kajiannya, Sulastin Sutrisno menyatakan bahwa dari segi tradisi dan pembaharuan, HHT mengandung sifat-sifat roman modern. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teks HHT yang panjang dan berbentuk prosa itu mengisahkan seluruh kehidupan pelaku-pelakunya dengan segala untung malangnya, pada segi kehidupan jiwanya, cita-citanya, jalan pikirannya, sikapnya dan sebagainya, dalam ruang dan waktu tertentu. Pelaku-pelakunya terdiri atas orang-orang yang berbicara, bukan dewa-dewa atau jin dan peri (hal 343).

Pernyataan Sulastin Sutrisno di atas dikaitkan dengan hasil kajiannya yang menemukan bahwa HHT secara umum mengandung sifat roman karena dua hal. Pertama, peranan tokoh utama yang tidak dimainkan atas nama pribadinya sendiri. Artinya, sepanjang cerita HHT, tokoh Hang Tuah lebih merepresentasikan manusia Melayu dalam tanah Melayu yang dicita-citakan. Kedua, jika dalam cerita roman umumnya cerita cinta ditonjolkan, maka tidak demikian halnya dengan HHT. Unsur umum cinta tidak tumbuh subur dalam HHT. Akan tetapi “cerita cinta” yang dimunculkan justru ketegangan dalam episode Tun Teja yang menegaskan tentang kesetiaan seorang Hang Tuah sebagai hamba kepada rajanya.

HHT di mata Sulastin Sutrisno justru komplit, yaitu tetap kuat unsur tradisionalnya namun juga memuat nilai-nilai internasional sebagai sebuah roman. Untuk itu, HHT layak untuk mendapat tempat dalam ilmu sastra dan menjadi warga sastra dunia. Lebih lanjut, jika kita mencermati pernyataan di atas, usaha Sulastin Sutrisno dalam menulis buku ini patut untuk diapresiasi, bahkan beliau pantas untuk dihormati sebagai salah seorang tokoh Melayu meskipun beliau berasal dari suku Jawa. Apapun kesimpulannya, kajian ini mengajarkan kepada kita semua bahwa HHT sebagai sebuah karya sastra Melayu dapat dijadikan sebagai media untuk memahami kebudayaan Melayu yang penuh warna.


Penulis :Prof. Dr. Sulastin Sutrisno
Editor : Prof. Heddy Sri Ahimsa-Putra, M.A. M.Phill.Ph.D. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M
Penerbit : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/94/Hikayat-Hang-Tuah-Analisis-Struktur-dan-Fungsi

Syair Nasib Melayu


Syair Nasib Melayu

Perhatian Tenas Effendy terhadap khazanah warisan budaya Melayu tidak diragukan lagi. Perhatian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi peradaban manusia, terutama peradaban Melayu di Nusantara. Dalam karya-karyanya, Tenas selalu menekankan pentingnya menjaga identitas Melayu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya lokal, karena nilai-nilai tersebut senafas dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Agaknya, dasar pemikiran inilah yang mendorong Tenas begitu ulet mengkaji kebudayaan Melayu, khususnya Melayu Riau dan Kepulauan Riau.

Banyak sudah buah karya Tenas yang telah dipublikasikan dan menjadi bahan rujukan di kalangan peneliti dan pecinta budaya Melayu. "Syair Nasib Melayu" adalah salah satu karyanya yang cukup bagus. Melalui buku ini, Tenas menuangkan pandangan-pandanganya terhadap Melayu modern tanpa melupakan realitas sejarah Melayu itu sendiri.

Realitas modern menciptakan persoalan-persoalan baru yang sangat kompleks di tengah masyarakat, mulai dari penetrasi kapitalisme global, kualitas pendidikan dan pengetahuan yang rendah, kerusakan moral, keterbatasan lahan pekerjaan, sampai kepada kerusakan lingkungan. Semua persoalan itu bagaikan benang kusut yang sangat sulit untuk diuraikan kembali. Masyarakat tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi itu. Fenomena ini sangat memilukan. Tenas Effendy mengakui bahwa kondisi semacam itu mempengaruhi cara pandang orang-orang Melayu terhadap sejarah dan budayanya.

Mungkin atas dasar itulah "Syair Nasib Melayu" ditulis. Syair ini berisikan refleksi penulisnya terhadap fenomena dan problematika Melayu masa kini. Misalnya perihal penyebab dari kemunduran awal Melayu modern, yang menurut Tenas dikarenakan ketertutupan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan modern, sebagaimana dituliskan dalam syair berikut ini: (bait 49, 50, 53)

Di bumi Melayu pembangunan pesat
Baik di laut maupun di darat
Banyak peluang boleh didapat
Banyak usaha boleh dibuat

Tetapi karena ilmu tak ada
Peluang yang ada terbuang saja
Diisi orang awak menganga
Akhirnya duduk mengurut dada
.........
Disinilah tempat Melayu jatuh
Karena banyak yang masih bodoh
Peluang yang dekat menjadi jauh
Nasib pun malang celaka tumbuh

Syair di atas mengisyaratkan bahwa ketika orang lain telah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, orang Melayu justru hanya berdiam diri atau berjalan di tempat. Padahal, jika saja mereka punya kemauan untuk membuka lembaran sejarah Melayu, maka banyak hal yang dapat dipelajari dan dipetik hikmahnya, serta menjadikan sejarah itu sebagai pedoman dalam membangun masa depan. Untuk membangun masyarakat yang terbuka, kuat dan demokratis, suatu masyarakat harus mempertahankan warisan sejarah dan budaya yang baik, dan pada saat yang sama mengadopsi hal-hal baru dari luar yang lebih baik. Masyarakat Melayu Riau pada kenyataannya kurang membuka diri terhadap kemajuan dan perkembangan modern karena mereka terlalu silau terhadap warisan sejarah dan budayanya, sehingga terbuai dengan masa lalunya.

Tenas cukup memahami karakter masyarakat Melayu Riau yang cenderung “pemalas”. Sifat inilah yang membawa mereka pada keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam syairnya Tenas menulis (bait 94):

Walau Melayu bertanah luas
Tetapi terlantar karena malas
Dimanfaatkan orang awak pun cemas
Lambat laun semuanya lepas.

Di bagian akhir syairnya, Tenas menjelaskan secara detil karakter- karakter lain orang Melayu Riau. Meminjam perkataan Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Melayu Yogyakarta, Tenas cukup jujur dalam menilai karakter orang Melayu.

Dalam syair ini, tidak lupa pula Tenas memberikan sugesti kepada generasi-generasi muda Melayu sebagai pewaris kebudayaan, seperti termaktub dalam syair di bawah ini (bait 255 dan 256):

Ke generasi muda kita berharap
Kuatkan semangat betulkan sikap
Kokohkan iman tinggikan adab
Supaya Melayu berdiri tegap

Ke generasi muda kita berpesan
Hapuslan sifat malas dan segan
Isilah diri dengan ilmu pengetahuan
Supaya Melayu tidak ketinggalan

Karya sastra yang diselesaikan pada tahun 1990 ini merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya. Dalam buku ini, Tenas banyak memotret kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Riau sebelum tahun 1990. Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, syair-syair tersebut masih memiliki relevansi dengan kondisi sekarang, karena proses penulisannya berlangsung dalam sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.

Sebagai karya sastra, "Syair Nasib Melayu" masih menampilkan gaya penulisan tradisi sastra kuno, tanpa melepaskan gaya modernnya. Beberapa bait di atas adalah salah satu contohnya. Inilah salah satu unsur yang membuat karya sastra ini begitu nikmat untuk dibaca dan diresapi. Selain itu, gaya kritik sosial yang dibangun, menurut penilaian Al Azhar, dalam prakatanya, mirip dengan sejumlah syair “Lingkaran Penyengat”, seperti Syair Lebai Guntur, Syair Awai, Syair Kadamuddin, dan lain sebagainya. Dengan diterbitkannya karya ini, telah bertambah khazanah kesusastraan Melayu.

"Syair Nasib Melayu " menjadi penting di kalangan peneliti dan pencinta budaya Melayu karena memuat gambaran utuh namun ringkas tentang sejarah, karakter, dan tantangan Melayu di masa depan. Tanpa bermaksud untuk berlebihan, bagi orang Melayu sendiri, hadirnya karya sastra ini ibarat cermin datar yang menjalaskan realita secara apa adanya, baik kelebihan maupun kekuranganya.

Penulis : Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/85/Syair-Nasib-Melayu

SYAIR RINTIHAN RAJA MELAYU

Syair Rintihan Raja Melayu Assalamualaikum pemula bicara, Kepada semua isi negara, Hamba rakyat raja di pura, Moga selamat aman sejahtera...