Hikayat Hang Tuah Analisis Struktur dan Fungsi
Ketika
kita membincangkan tema sastra, hal pertama kali yang teringat adalah
pandangan Plato mengenai sastra. Menurut Plato, sastra hanyalah mimesis,
tiruan atau gambaran dari kenyataan. Artinya, yang diekspresikan dalam
karya sastra adalah kenyataan yang kurang, padahal yang ingin dicapai
orang adalah ide-ide yang ada di balik kenyataan tersebut. Seniman itu –
karena sifat pekerjaannya – demi keberhasilannya, terpaksa menonjolkan
sifat-sifat rendah manusia. Seninya tidak bertujuan untuk menonjolkan
segi rasional jiwanya, yaitu sifat manusia yang paling luhur. Jika seni
bermaksud demikian, maka berarti seni hanya meningkatkan nafsu yang
sebenarnya harus ditekan. Berdasarkan tiga keberatan di atas, maka
sastra tidak perlu dipandang sungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran
(D. Daiches, 1956).
Berbeda dengan Plato, Aristoteles memandang sastra secara lebih positif. Aristoteles menganggap bahwa sastra justru merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya di samping kegiatan lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Karena itu, sastra layak untuk diapresiasi sehingga muncullah pemahaman atas karya sastra sebagai a unified whole. Artinya, bahwa seluruh bagian dalam karya sastra merupakan bahan organik pembangun hasil seni itu. Dalam mengkaji sastra, maka kajian struktur adalah penting untuk mengetahui arti keseluruhan karya sastra tersebut. Dalam konteks ini, maka sastra perlu untuk dikaji dan dipelajari.
Buku karangan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini adalah salah satu buku yang mencoba mengkaji salah satu karya sastra terbesar Melayu, yaitu Hikayat Hang Tuah (HHT), dari sisi struktur dan fungsi. Kajian struktur dan fungsi bertujuan untuk mencari unsur terdalam dalam sebuah karya sastra. Dalam bidang antropologi dan sastra, kajian ini banyak memakai epistimologi struktural fungsional. Seperti dikatakan oleh Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pengantar buku ini, buku karya Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini merupakan kajian sastra yang serius, namun sayangnya justru analisis tentang struktural fungsional itu sendiri tidak ada. Untuk itu, pembaca sebaiknya memahami dahulu apa itu struktural fungsional sebelum lebih jauh membaca buku ini.
Hikayat Hang Tuah dalam Kajian yang Sudah Ada
Hikayat Hang Tuah (HHT) dikenal sebagai salah satu karya sastra tradisional Melayu. HHT sudah dikenal sejak lama oleh para pengkaji sastra di dunia. HHT secara umum mengisahkan tentang sosok Hang Tuah. Hang Tuah adalah tokoh penting dalam alam pikiran orang Melayu. Ungkapan paling terkenal yang konon yang berasal dari Hang Tuah adalah “Tak Kan Melayu hilang di dunia”. Dalam HHT, Hang Tuah diceritakan berlayar mengelilingi dunia dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika. Berdasarkan perjalanan Hang Tuah inilah, puak-puak Melayu meyakini bahwa suku Melayu juga tersebar dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika.
Sebagai sebuah karya sastra Melayu, HHT telah menjadi bahan kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik oleh ahli sastra dari luar maupun ahli dari puak Melayu sendiri. Kajian-kajian tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula.
Nama HHT konon pertama kali didengungkan oleh pendeta Belanda yang bernama Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Niuews Oost-Indien (1726) yang terdiri dari tujuh jilid. Pada jilid V, dalam lukisannya tentang Malaka, dia menyebutkan sebuah karya Melayu yang indah yang bernama Hikayat Hang Tuah. Namun, dalam buku ini HHT disalahartikan dengan kitab Sulalatus Salatin (sultan-sultan Malaka), yaitu nama lain untuk Sejarah Melayu. Hal yang sama juga dilakukan oleh G.H. Werndly, seorang pendeta Swiss. Menurutnya, Hang Tuah adalah pengarang buku sejarah Melayu dan Iskandar Zulkarnain adalah nenek moyang raja-raja Melayu.
Pada tahun 1854, E. Netscher menolak anggapan tentang HHT sebagai karangan sejarah. Baginya, HHT adalah sebuah roman yang amat penting, yang menampilkan tata cara hidup Melayu beberapa abad yang lalu. Sementara itu, peneliti Inggris yang bernama John Eyden menyebut HHT sebagai roman sejarah yang di dalamnya fiksi dan data sejarah tercampur.
Dalam buku History of Indian Archipelago (1820), John Crawfurd menganggap HHT sebagai cerita yang tidak masuk akal dan kekanak-kanakan. HHT hanya bernilai ketika mengisahkan tentang budi pekerti dan cara hidup orang Melayu. Sementara itu, seorang ahli bahasa dan sastra Melayu dari Rusia yang bernama B. Parnickel, dalam buku An Epic Hero and: an Epic Traitor in the Hikayat Hang Tuah, menganggap HHT sebagai karya sastra hasil masyarakat feodal. Baginya, pada awalnya Hang Tuah adalah pahlawan rakyat yang membela kepentingan kalangan kelas menengah melawan Raja yang lalim. Buku tersebut kemudian jatuh ke tangan ke kelas feodal dan diubah sesuai kepentingan kaum feodal.
Dalam buku A study of Genre: Meaning and Form in The Malay Hikayat Hang Tuah (1975), dan dalam kertas kerjanya berjudul Some Comments on Style in The Meaning of The Past (1976), Erington memandang HHT sebagai sejenis karya sejarah dalam hal menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah, terutama adanya pengiriman utusan Melayu ke Rum untuk membeli senjata dan peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis.
Para peneliti dari puak Melayu memandang HHT dengan cara yang beragam pula. Sebagian besar menganggap karya ini sebagai karya fiksi. Pandangan ini disampaikan oleh Abdul Azis Mone (1972) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Kesusasteraan Indonesia Lama. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Abdul Ghani Suratman (1963) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Bidang Sastera Melayu Lama, Anas Haji Ahmad (1962) dalam buku Kenapa Hikayat Hang Tuah bukan Satu Penulisan sejarah?, dan MD. Zahari bin Md. Zain (1970) dalam buku Persamaan dan Perbedaan antara Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu.
Ada pula peneliti yang memandang HHT sebagai karya sejarah. Pandangan ini diungkapkan antara lain oleh Abdul Khadi Ahmad 1963 dalam buku Hang Tuah Sebenarnya Ada Hidup - Buku Sejarah Melayu menjadi Buktinya, Ahmad Sarji Abdul Hamid (1960) dalam buku Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, dan Abu Hasan Syam (1976) dalam buku Wanita dalam HHT: Imej Wanita dalam Hikayat Hang Tuah. Ada juga peneliti yang lain mengklasifikasikan HHT sebagai karya sastra dengan kategori “karya sastra lain”. Pandangan ini disampaikan oleh Abu Hasan Sham (1976) dalam buku Perbandingan antara Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Inderaputera dan Nilai-nilia Tradisional dalam HHT. Nilai-nilai Masyarakat Melayu Tradisional dilihat dari Hikayat Hang Tuah.
Kassim Ahmad dari Universitas Malaya dalam buku teks Hikayat Hang Tuah (1964) menganggap bahwa HHT bukan karya sejarah melainkan karya sastra Melayu asli yang melahirkan cita-cita dan kebesaran bangsa Melayu. Menurut Kassim Ahmad, pengarang HHT tidak mempedulikan tata tertib sejarah. Dia hendak menciptakan manusia Hang Tuah yang luar biasa.
HHT memang merupakan sebuah karya sastra yang besar dan penting untuk dikaji jika kita melihat berbagai kajian di atas. Kesimpulan yang beragam tentang HHT justru menunjukan bahwa HHT ikut melambungkan kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan besar dunia.
Hikayat Hang Tuah di Mata Sulastin Sutrisno
Pada akhir kajiannya, Sulastin Sutrisno menyatakan bahwa dari segi tradisi dan pembaharuan, HHT mengandung sifat-sifat roman modern. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teks HHT yang panjang dan berbentuk prosa itu mengisahkan seluruh kehidupan pelaku-pelakunya dengan segala untung malangnya, pada segi kehidupan jiwanya, cita-citanya, jalan pikirannya, sikapnya dan sebagainya, dalam ruang dan waktu tertentu. Pelaku-pelakunya terdiri atas orang-orang yang berbicara, bukan dewa-dewa atau jin dan peri (hal 343).
Pernyataan Sulastin Sutrisno di atas dikaitkan dengan hasil kajiannya yang menemukan bahwa HHT secara umum mengandung sifat roman karena dua hal. Pertama, peranan tokoh utama yang tidak dimainkan atas nama pribadinya sendiri. Artinya, sepanjang cerita HHT, tokoh Hang Tuah lebih merepresentasikan manusia Melayu dalam tanah Melayu yang dicita-citakan. Kedua, jika dalam cerita roman umumnya cerita cinta ditonjolkan, maka tidak demikian halnya dengan HHT. Unsur umum cinta tidak tumbuh subur dalam HHT. Akan tetapi “cerita cinta” yang dimunculkan justru ketegangan dalam episode Tun Teja yang menegaskan tentang kesetiaan seorang Hang Tuah sebagai hamba kepada rajanya.
HHT di mata Sulastin Sutrisno justru komplit, yaitu tetap kuat unsur tradisionalnya namun juga memuat nilai-nilai internasional sebagai sebuah roman. Untuk itu, HHT layak untuk mendapat tempat dalam ilmu sastra dan menjadi warga sastra dunia. Lebih lanjut, jika kita mencermati pernyataan di atas, usaha Sulastin Sutrisno dalam menulis buku ini patut untuk diapresiasi, bahkan beliau pantas untuk dihormati sebagai salah seorang tokoh Melayu meskipun beliau berasal dari suku Jawa. Apapun kesimpulannya, kajian ini mengajarkan kepada kita semua bahwa HHT sebagai sebuah karya sastra Melayu dapat dijadikan sebagai media untuk memahami kebudayaan Melayu yang penuh warna.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles memandang sastra secara lebih positif. Aristoteles menganggap bahwa sastra justru merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya di samping kegiatan lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Karena itu, sastra layak untuk diapresiasi sehingga muncullah pemahaman atas karya sastra sebagai a unified whole. Artinya, bahwa seluruh bagian dalam karya sastra merupakan bahan organik pembangun hasil seni itu. Dalam mengkaji sastra, maka kajian struktur adalah penting untuk mengetahui arti keseluruhan karya sastra tersebut. Dalam konteks ini, maka sastra perlu untuk dikaji dan dipelajari.
Buku karangan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini adalah salah satu buku yang mencoba mengkaji salah satu karya sastra terbesar Melayu, yaitu Hikayat Hang Tuah (HHT), dari sisi struktur dan fungsi. Kajian struktur dan fungsi bertujuan untuk mencari unsur terdalam dalam sebuah karya sastra. Dalam bidang antropologi dan sastra, kajian ini banyak memakai epistimologi struktural fungsional. Seperti dikatakan oleh Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pengantar buku ini, buku karya Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini merupakan kajian sastra yang serius, namun sayangnya justru analisis tentang struktural fungsional itu sendiri tidak ada. Untuk itu, pembaca sebaiknya memahami dahulu apa itu struktural fungsional sebelum lebih jauh membaca buku ini.
Hikayat Hang Tuah dalam Kajian yang Sudah Ada
Hikayat Hang Tuah (HHT) dikenal sebagai salah satu karya sastra tradisional Melayu. HHT sudah dikenal sejak lama oleh para pengkaji sastra di dunia. HHT secara umum mengisahkan tentang sosok Hang Tuah. Hang Tuah adalah tokoh penting dalam alam pikiran orang Melayu. Ungkapan paling terkenal yang konon yang berasal dari Hang Tuah adalah “Tak Kan Melayu hilang di dunia”. Dalam HHT, Hang Tuah diceritakan berlayar mengelilingi dunia dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika. Berdasarkan perjalanan Hang Tuah inilah, puak-puak Melayu meyakini bahwa suku Melayu juga tersebar dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika.
Sebagai sebuah karya sastra Melayu, HHT telah menjadi bahan kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik oleh ahli sastra dari luar maupun ahli dari puak Melayu sendiri. Kajian-kajian tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula.
Nama HHT konon pertama kali didengungkan oleh pendeta Belanda yang bernama Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Niuews Oost-Indien (1726) yang terdiri dari tujuh jilid. Pada jilid V, dalam lukisannya tentang Malaka, dia menyebutkan sebuah karya Melayu yang indah yang bernama Hikayat Hang Tuah. Namun, dalam buku ini HHT disalahartikan dengan kitab Sulalatus Salatin (sultan-sultan Malaka), yaitu nama lain untuk Sejarah Melayu. Hal yang sama juga dilakukan oleh G.H. Werndly, seorang pendeta Swiss. Menurutnya, Hang Tuah adalah pengarang buku sejarah Melayu dan Iskandar Zulkarnain adalah nenek moyang raja-raja Melayu.
Pada tahun 1854, E. Netscher menolak anggapan tentang HHT sebagai karangan sejarah. Baginya, HHT adalah sebuah roman yang amat penting, yang menampilkan tata cara hidup Melayu beberapa abad yang lalu. Sementara itu, peneliti Inggris yang bernama John Eyden menyebut HHT sebagai roman sejarah yang di dalamnya fiksi dan data sejarah tercampur.
Dalam buku History of Indian Archipelago (1820), John Crawfurd menganggap HHT sebagai cerita yang tidak masuk akal dan kekanak-kanakan. HHT hanya bernilai ketika mengisahkan tentang budi pekerti dan cara hidup orang Melayu. Sementara itu, seorang ahli bahasa dan sastra Melayu dari Rusia yang bernama B. Parnickel, dalam buku An Epic Hero and: an Epic Traitor in the Hikayat Hang Tuah, menganggap HHT sebagai karya sastra hasil masyarakat feodal. Baginya, pada awalnya Hang Tuah adalah pahlawan rakyat yang membela kepentingan kalangan kelas menengah melawan Raja yang lalim. Buku tersebut kemudian jatuh ke tangan ke kelas feodal dan diubah sesuai kepentingan kaum feodal.
Dalam buku A study of Genre: Meaning and Form in The Malay Hikayat Hang Tuah (1975), dan dalam kertas kerjanya berjudul Some Comments on Style in The Meaning of The Past (1976), Erington memandang HHT sebagai sejenis karya sejarah dalam hal menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah, terutama adanya pengiriman utusan Melayu ke Rum untuk membeli senjata dan peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis.
Para peneliti dari puak Melayu memandang HHT dengan cara yang beragam pula. Sebagian besar menganggap karya ini sebagai karya fiksi. Pandangan ini disampaikan oleh Abdul Azis Mone (1972) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Kesusasteraan Indonesia Lama. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Abdul Ghani Suratman (1963) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Bidang Sastera Melayu Lama, Anas Haji Ahmad (1962) dalam buku Kenapa Hikayat Hang Tuah bukan Satu Penulisan sejarah?, dan MD. Zahari bin Md. Zain (1970) dalam buku Persamaan dan Perbedaan antara Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu.
Ada pula peneliti yang memandang HHT sebagai karya sejarah. Pandangan ini diungkapkan antara lain oleh Abdul Khadi Ahmad 1963 dalam buku Hang Tuah Sebenarnya Ada Hidup - Buku Sejarah Melayu menjadi Buktinya, Ahmad Sarji Abdul Hamid (1960) dalam buku Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, dan Abu Hasan Syam (1976) dalam buku Wanita dalam HHT: Imej Wanita dalam Hikayat Hang Tuah. Ada juga peneliti yang lain mengklasifikasikan HHT sebagai karya sastra dengan kategori “karya sastra lain”. Pandangan ini disampaikan oleh Abu Hasan Sham (1976) dalam buku Perbandingan antara Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Inderaputera dan Nilai-nilia Tradisional dalam HHT. Nilai-nilai Masyarakat Melayu Tradisional dilihat dari Hikayat Hang Tuah.
Kassim Ahmad dari Universitas Malaya dalam buku teks Hikayat Hang Tuah (1964) menganggap bahwa HHT bukan karya sejarah melainkan karya sastra Melayu asli yang melahirkan cita-cita dan kebesaran bangsa Melayu. Menurut Kassim Ahmad, pengarang HHT tidak mempedulikan tata tertib sejarah. Dia hendak menciptakan manusia Hang Tuah yang luar biasa.
HHT memang merupakan sebuah karya sastra yang besar dan penting untuk dikaji jika kita melihat berbagai kajian di atas. Kesimpulan yang beragam tentang HHT justru menunjukan bahwa HHT ikut melambungkan kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan besar dunia.
Hikayat Hang Tuah di Mata Sulastin Sutrisno
Pada akhir kajiannya, Sulastin Sutrisno menyatakan bahwa dari segi tradisi dan pembaharuan, HHT mengandung sifat-sifat roman modern. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teks HHT yang panjang dan berbentuk prosa itu mengisahkan seluruh kehidupan pelaku-pelakunya dengan segala untung malangnya, pada segi kehidupan jiwanya, cita-citanya, jalan pikirannya, sikapnya dan sebagainya, dalam ruang dan waktu tertentu. Pelaku-pelakunya terdiri atas orang-orang yang berbicara, bukan dewa-dewa atau jin dan peri (hal 343).
Pernyataan Sulastin Sutrisno di atas dikaitkan dengan hasil kajiannya yang menemukan bahwa HHT secara umum mengandung sifat roman karena dua hal. Pertama, peranan tokoh utama yang tidak dimainkan atas nama pribadinya sendiri. Artinya, sepanjang cerita HHT, tokoh Hang Tuah lebih merepresentasikan manusia Melayu dalam tanah Melayu yang dicita-citakan. Kedua, jika dalam cerita roman umumnya cerita cinta ditonjolkan, maka tidak demikian halnya dengan HHT. Unsur umum cinta tidak tumbuh subur dalam HHT. Akan tetapi “cerita cinta” yang dimunculkan justru ketegangan dalam episode Tun Teja yang menegaskan tentang kesetiaan seorang Hang Tuah sebagai hamba kepada rajanya.
HHT di mata Sulastin Sutrisno justru komplit, yaitu tetap kuat unsur tradisionalnya namun juga memuat nilai-nilai internasional sebagai sebuah roman. Untuk itu, HHT layak untuk mendapat tempat dalam ilmu sastra dan menjadi warga sastra dunia. Lebih lanjut, jika kita mencermati pernyataan di atas, usaha Sulastin Sutrisno dalam menulis buku ini patut untuk diapresiasi, bahkan beliau pantas untuk dihormati sebagai salah seorang tokoh Melayu meskipun beliau berasal dari suku Jawa. Apapun kesimpulannya, kajian ini mengajarkan kepada kita semua bahwa HHT sebagai sebuah karya sastra Melayu dapat dijadikan sebagai media untuk memahami kebudayaan Melayu yang penuh warna.
Penulis :Prof. Dr. Sulastin Sutrisno
Editor : Prof. Heddy Sri Ahimsa-Putra, M.A. M.Phill.Ph.D. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M
Penerbit : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/94/Hikayat-Hang-Tuah-Analisis-Struktur-dan-Fungsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar