Sabtu, 11 Februari 2012

Perpustakaan Melayu Riau yang Nyaris Roboh



Oleh: Noer Faisal[2]
Raja Malik Afrizal (37), tertunduk lesu menatap beberapa meriam sisa-sisa peninggalan kerajaan Melayu Riau di Benteng Bukit Kursi, Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Meriam peninggalan sejarah dalam memperjuangan kemerdekaan bangsa itu hanya tinggal menunggu waktu saja, kondisinya yang sudah lusuh dan tak terawat seakan mendekatkannya menjadi barang rongsokan yang tidak berharga.
Raja Malik Afrizal, salah satu pewaris dan keturunan Yang Dipertuan Muda Riau yang masih tinggal di Pulau Penyengat. Tugasnya mengumpulkan seluruh peninggalan yang ada di pulau tersebut, baik berupa benda cagar budaya maupun catatan-catatan tentang riwayat kerajaan Melayu Riau selama berada di Pulau Penyengat.
Peninggalan sejarah yang ada disini nyaris tidak sanggup dipertahankan, kondisinya mulai keropos. Hanya beberapa tempat saja yang masih terawat dengan baik. “Perhatian pemerintah sangat kurang dalam merawat cagar budaya ini,” kata Raja Malik.
Sejarah pulau Penyengat memang cukup panjang dan hampir terlupakan. Dari pulau seluas 3,5 kilometer ini, telah lahir seorang pujangga yang menyusun kaidah-kaidah tata bahasa, ejaan dan perkamusan bahasa melayu, yakni Raja Ali Haji. Penyusunan kaidah tata bahasa Melayu tersebut merupakan pengejawantahan dari keyakinan  Raja Ali Haji bahwa bahasa Melayu Riau layak dipakai sebagai bahasa surat-menyurat, bahasa buku, dan kesusastraan.
Pulau Penyengat terletak di sebelah barat kota Tanjung Pinang, dengan jarak sekitar 1,5 kilometer. Tanjung Pinang sendiri berada sekitar 10 kilometer sebelah timur laut Pulau Batam, kota industri di Provinsi Kepulauan Riau. Penduduk pulau kecil ini berdasarkan sensus tahun 2005 hanya sebesar 2.224 jiwa.
Letak pulau ini sangat strategis, jika sedang berada di puncak Benteng Bukit Kursi, secara kasat mata dapat melihat berbagai kapal-kapal ferry yang sedang masuk ke dan keluar dari pelabuhan di Tanjung Pinang. Tidak hanya kapal ferry, semua aktivitas ke luar-masuk wilayah pedalaman Riau dapat terpantau dari bukit ini. Posisinya persis seperti sebuah pos penjagaan di pintu gerbang utama.
Tidak salah jika pada perang Riau melawan Belanda pada tahun 1782 hingga 1784, Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pertahanan yang utama. Sistem pertahanan di Pulau Penyengat sudah meniru gaya pertahanan Portugis, yaitu mengelilingi pulau dengan benteng batu-batu cadas. Saat ini sisanya masih dapat terlihat, namun dalam kondisi yang tidak terawat.
Keberadaan Pulau Penyengat semakin penting tatkala pada tahun 1803 status sebagai pusat pertahanan ditingkatkan menjadi sebuah negeri. Dengan demikian, Pulau Penyengat dikepalai oleh Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, tangan kanan Sultan dalam memerintah. Sedangkan Sultan ketika itu masih berada di pusat pemerintahaan di Daik Lingga, kini menjadi Kabupaten Lingga.
Baru kemudian pada tahun 1900, Sultan Abdul Rahman Muazam Syah yang memerintah Kerajaan Melayu Riau memindahkan pusat pemerintahaan ke Pulau Penyengat. Sultan Abdul Rahman memerintah dari tahun 1883 hingga 1911. Sultan ini berkuasa dari Riau hingga Johor dan Pahang (kini Malaysia).
Seiring dengan semakin berkembangnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahaan, penyebaran agama Islam, dan kebudayaan Melayu, tempat ini menjadi kawasan yang cukup penting. Namun situasi perebutan kekuasaan negara-negara Barat terhadap Selat Malaka menjadikan Pulau Penyengat kembali meredup. Sultan Abdul Rahman yang tidak bersedia menandatangani kontrak yang isinya menghilangkan hak dan kekuasaan raja dan pembesar-pembesar tradisional Riau pindah ke Singapura, untuk menghindari kekuatan Belanda.
Ketika sampai di Singapura, raja memerintahkan kepada rakyat di pulau penyengat untuk menghancurkan istana, dan gedung-gedung yang dianggap penting. Karena ada kabar ketika itu Belanda akan mengambil alih. Makanya, walaupun belum sampai 100 tahun kesultanan Riau Lingga berakhir, istananya sudah tidak ada. Hanya puing-puing saja, kata Raja Malik menceritakan riwayat Pulau Penyengat.
 
Sumber pembiayaan tidak jelas
Kebesaran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahaan Melayu Riau secara fisik dapat terlihat dari Mesjid Raya Penyengat yang masih berdiri kokoh. Masjid yang didirikan pada tahun 1832 Masehi oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman ini memiliki kubah atau menara sebanyak 17 buah. Jumlah ini sama dengan jumlah rakaat sembahyang wajib umat Islam. Hanya tempat inilah yang saat ini masih sering dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka menghormati budaya-budaya Melayu oleh tokoh politik di Kepulauan Riau. Di masjid ini, juga terkumpul ribuan buku yang berisikan tentang pengetahuan agama Islam yang dicetak dizamannya.
Selain masjid yang masih berdiri kokoh, ada beberapa tempat lainnya yang tiap akhir pekan menjadi objek rekreasi para wisatawan lokal dan mancanegara. Yakni, makam raja-raja atau keturunan raja-raja yang masih berada di Pulau itu. Di Pulau Penyengat ada empat kompleks makam keturunan raja yang masih berdiri dengan baik. Setiap pengunjung dari berbagai latar belakang sosial menyempatkan diri untuk menyinggahi makam-makan keturunan raja tersebut, ada yang berdoa untuk orang yang dikubur tersebut atau yang minta didoakan agar sukses dalam mencapai tujuannya.
Selain itu, ada Istana Kantor, sebuah balai pertemuan antara pengurus kerajaan yang juga masih berdiri, benteng Bukit Kursi dan beberapa tempat lainnya. Namun, seluruh peninggalan kerajaan Melayu Riau tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan.
Walaupun dari luar terlihat berdiri dengan baik, namun jika ditelesik dengan kasat mata, bangunan tersebut dalam kondisi yang hampir roboh, atap-atap di beberapa bangunan sudah mulai terkelupas, tiang kayunya mulai lapuk. Dindingnya mulai kusam dan sampah berserakan dimana-mana.
Tidak jarang pula pasangan muda-mudi yang berkunjung ke tempat itu menggunakan beberapa sekat-sekat ruangan tertutup untuk saling mengobrol, tidak ada penjagaan secara khusus oleh keturunan kerajaan atau oleh Pemerintah Kota (Pemko) Tanjung Pinang terhadap seluruh aset-aset cagar budaya yang ada itu.
Para pengunjung tidak dipungut biayamasuk. Mereka bebas masuk dan melihat seluruh peninggalan yang ada. Pemugaran pernah dilakukan, tetapi bersifat insidentil dan tidak terencana. “Pulau ini butuh perhatian secara kontinyu,” kata Raja Malik.
Berdasarkan catatan Raja Malik, tiap akhir pekan seperti Sabtu dan Minggu tidak kurang ada 500 pengunjung yang datang ke pulau ini. Bahkan, ketika hari libur pada Idul Fitri dan Idul Adha, pulau ini dibanjiri oleh kaum Muslimin yang ingin berekreasi serta menunaikan shalat di Masjid Raya Penyengat yang jumlahnya bisa mencapai 1.000 orang.
Satu-satunya pendapatan bagi Pulau ini, selain anggaran dari Pemerintah Kota (Pemko) Tanjung Pinang yang tidak pasti tiap tahunnya, persatuan pengemudi boat pancung, kapal kayu yang membawa wisatawan dari Tanjung Pinang ke Penyengat dan sebaliknya, menyisihkan beberapa rupiah per penumpang untuk Pulau Penyengat. Dari biaya sebesar Rp7.000 per orang, sekitar Rp1.000 disisihkan untuk perawatan pulau ini.
Hanya dari situ saja yang sudah pasti, sedangkan biaya dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab, tidak jelas. Anda lihat sendiri kondisi pulau ini. Sampah berserakan. Tidak ada keinginan agar ini menjadi aset budaya yang memiliki daya jual. Padahal para pewaris tahta kerajaan hanya ingin melihat pulau ini baik, kata Raja Malik.
 
Perpustakaan
Di pulau ini juga terdapat sebuah Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat yang didirikan oleh almarhum Raja Hamzah Yunus, ayahanda Raja Malik, yayasan ini telah berhasil mengumpulkan seluruh catatan-catatan sejarah asli yang dicetak pada zamannya. Seperti majalah di zaman kerajaan Melayu riau, catatan ketabiban/kedokteran, catatan ilmu pengetahuan seks, dan tata bahasa yang dihasilkan oleh Raja Ali Haji. Raja Ali Haji telah diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional dari Kepulauan Riau, selain dikenal sebagai penelur tata bahasa, Raja Ali Haji juga dikenal dengan Gurindam-nya. Raja Ali Haji merupakan salah satu anak dari Yang Dipertuan Muda kerajaan Melayu Riau.
Beberapa peneliti kerajaan Melayu baik di Singapura, Malaysia dan Belanda secara kontinyu datang ke pulau ini. Program khusus tentang Melayu dari universitas di Singapura, mewajibkan mahasiswanya datang ke pulau untuk melihat sisa-sisa kejayaan kerajaan Melayu, kata Raja Malik.
--------------ooOoo----------------

[1] Tulisan ini telah diedit seperlunya oleh redaktur www.rajaalihaji.com. Naskah asli tulisan ini dapat dilihat di http://www.hupelita.com/baca.php?id=47072.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYAIR RINTIHAN RAJA MELAYU

Syair Rintihan Raja Melayu Assalamualaikum pemula bicara, Kepada semua isi negara, Hamba rakyat raja di pura, Moga selamat aman sejahtera...