Oleh: Noer Faisal[2]
Raja
Malik Afrizal (37), tertunduk lesu menatap beberapa meriam sisa-sisa
peninggalan kerajaan Melayu Riau di Benteng Bukit Kursi, Pulau
Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Meriam
peninggalan sejarah dalam memperjuangan kemerdekaan bangsa itu hanya
tinggal menunggu waktu saja, kondisinya yang sudah lusuh dan tak terawat
seakan mendekatkannya menjadi barang rongsokan yang tidak berharga.
Raja
Malik Afrizal, salah satu pewaris dan keturunan Yang Dipertuan Muda
Riau yang masih tinggal di Pulau Penyengat. Tugasnya mengumpulkan
seluruh peninggalan yang ada di pulau tersebut, baik berupa benda cagar
budaya maupun catatan-catatan tentang riwayat kerajaan Melayu Riau
selama berada di Pulau Penyengat.
Peninggalan
sejarah yang ada disini nyaris tidak sanggup dipertahankan, kondisinya
mulai keropos. Hanya beberapa tempat saja yang masih terawat dengan
baik. “Perhatian pemerintah sangat kurang dalam merawat cagar budaya
ini,” kata Raja Malik.
Sejarah
pulau Penyengat memang cukup panjang dan hampir terlupakan. Dari pulau
seluas 3,5 kilometer ini, telah lahir seorang pujangga yang menyusun
kaidah-kaidah tata bahasa, ejaan dan perkamusan bahasa melayu, yakni
Raja Ali Haji. Penyusunan kaidah tata bahasa Melayu tersebut merupakan
pengejawantahan dari keyakinan Raja Ali Haji bahwa bahasa Melayu Riau layak dipakai sebagai bahasa surat-menyurat, bahasa buku, dan kesusastraan.
Pulau
Penyengat terletak di sebelah barat kota Tanjung Pinang, dengan jarak
sekitar 1,5 kilometer. Tanjung Pinang sendiri berada sekitar 10
kilometer sebelah timur laut Pulau Batam, kota industri di Provinsi
Kepulauan Riau. Penduduk pulau kecil ini berdasarkan sensus tahun 2005
hanya sebesar 2.224 jiwa.
Letak
pulau ini sangat strategis, jika sedang berada di puncak Benteng Bukit
Kursi, secara kasat mata dapat melihat berbagai kapal-kapal ferry yang
sedang masuk ke dan keluar dari pelabuhan di Tanjung Pinang. Tidak hanya
kapal ferry, semua aktivitas ke luar-masuk wilayah pedalaman Riau dapat
terpantau dari bukit ini. Posisinya persis seperti sebuah pos penjagaan
di pintu gerbang utama.
Tidak
salah jika pada perang Riau melawan Belanda pada tahun 1782 hingga
1784, Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pertahanan yang utama.
Sistem pertahanan di Pulau Penyengat sudah meniru gaya pertahanan
Portugis, yaitu mengelilingi pulau dengan benteng batu-batu cadas. Saat
ini sisanya masih dapat terlihat, namun dalam kondisi yang tidak
terawat.
Keberadaan
Pulau Penyengat semakin penting tatkala pada tahun 1803 status sebagai
pusat pertahanan ditingkatkan menjadi sebuah negeri. Dengan demikian,
Pulau Penyengat dikepalai oleh Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga,
tangan kanan Sultan dalam memerintah. Sedangkan Sultan ketika itu masih
berada di pusat pemerintahaan di Daik Lingga, kini menjadi Kabupaten
Lingga.
Baru
kemudian pada tahun 1900, Sultan Abdul Rahman Muazam Syah yang
memerintah Kerajaan Melayu Riau memindahkan pusat pemerintahaan ke Pulau
Penyengat. Sultan Abdul Rahman memerintah dari tahun 1883 hingga 1911.
Sultan ini berkuasa dari Riau hingga Johor dan Pahang (kini Malaysia).
Seiring
dengan semakin berkembangnya Pulau Penyengat sebagai pusat
pemerintahaan, penyebaran agama Islam, dan kebudayaan Melayu, tempat ini
menjadi kawasan yang cukup penting. Namun situasi perebutan kekuasaan
negara-negara Barat terhadap Selat Malaka menjadikan Pulau Penyengat
kembali meredup. Sultan Abdul Rahman yang tidak bersedia menandatangani
kontrak yang isinya menghilangkan hak dan kekuasaan raja dan
pembesar-pembesar tradisional Riau pindah ke Singapura, untuk
menghindari kekuatan Belanda.
Ketika
sampai di Singapura, raja memerintahkan kepada rakyat di pulau
penyengat untuk menghancurkan istana, dan gedung-gedung yang dianggap
penting. Karena ada kabar ketika itu Belanda akan mengambil alih.
Makanya, walaupun belum sampai 100 tahun kesultanan Riau Lingga
berakhir, istananya sudah tidak ada. Hanya puing-puing saja, kata Raja
Malik menceritakan riwayat Pulau Penyengat.
Sumber pembiayaan tidak jelas
Kebesaran
Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahaan Melayu Riau secara fisik
dapat terlihat dari Mesjid Raya Penyengat yang masih berdiri kokoh.
Masjid yang didirikan pada tahun 1832 Masehi oleh Yang Dipertuan Muda
Raja Abdul Rahman ini memiliki kubah atau menara sebanyak 17 buah.
Jumlah ini sama dengan jumlah rakaat sembahyang wajib umat Islam. Hanya
tempat inilah yang saat ini masih sering dilakukan berbagai kegiatan
dalam rangka menghormati budaya-budaya Melayu oleh tokoh politik di
Kepulauan Riau. Di masjid ini, juga terkumpul ribuan buku yang berisikan
tentang pengetahuan agama Islam yang dicetak dizamannya.
Selain
masjid yang masih berdiri kokoh, ada beberapa tempat lainnya yang tiap
akhir pekan menjadi objek rekreasi para wisatawan lokal dan mancanegara.
Yakni, makam raja-raja atau keturunan raja-raja yang masih berada di
Pulau itu. Di Pulau Penyengat ada empat kompleks makam keturunan raja
yang masih berdiri dengan baik. Setiap pengunjung dari berbagai latar
belakang sosial menyempatkan diri untuk menyinggahi makam-makan
keturunan raja tersebut, ada yang berdoa untuk orang yang dikubur
tersebut atau yang minta didoakan agar sukses dalam mencapai tujuannya.
Selain
itu, ada Istana Kantor, sebuah balai pertemuan antara pengurus kerajaan
yang juga masih berdiri, benteng Bukit Kursi dan beberapa tempat
lainnya. Namun, seluruh peninggalan kerajaan Melayu Riau tersebut dalam
kondisi yang memprihatinkan.
Walaupun
dari luar terlihat berdiri dengan baik, namun jika ditelesik dengan
kasat mata, bangunan tersebut dalam kondisi yang hampir roboh, atap-atap
di beberapa bangunan sudah mulai terkelupas, tiang kayunya mulai lapuk.
Dindingnya mulai kusam dan sampah berserakan dimana-mana.
Tidak
jarang pula pasangan muda-mudi yang berkunjung ke tempat itu
menggunakan beberapa sekat-sekat ruangan tertutup untuk saling
mengobrol, tidak ada penjagaan secara khusus oleh keturunan kerajaan
atau oleh Pemerintah Kota (Pemko) Tanjung Pinang terhadap seluruh
aset-aset cagar budaya yang ada itu.
Para
pengunjung tidak dipungut biayamasuk. Mereka bebas masuk dan melihat
seluruh peninggalan yang ada. Pemugaran pernah dilakukan, tetapi
bersifat insidentil dan tidak terencana. “Pulau ini butuh perhatian
secara kontinyu,” kata Raja Malik.
Berdasarkan
catatan Raja Malik, tiap akhir pekan seperti Sabtu dan Minggu tidak
kurang ada 500 pengunjung yang datang ke pulau ini. Bahkan, ketika hari
libur pada Idul Fitri dan Idul Adha, pulau ini dibanjiri oleh kaum
Muslimin yang ingin berekreasi serta menunaikan shalat di Masjid Raya
Penyengat yang jumlahnya bisa mencapai 1.000 orang.
Satu-satunya
pendapatan bagi Pulau ini, selain anggaran dari Pemerintah Kota (Pemko)
Tanjung Pinang yang tidak pasti tiap tahunnya, persatuan pengemudi boat
pancung, kapal kayu yang membawa wisatawan dari Tanjung Pinang ke
Penyengat dan sebaliknya, menyisihkan beberapa rupiah per penumpang
untuk Pulau Penyengat. Dari biaya sebesar Rp7.000 per orang, sekitar
Rp1.000 disisihkan untuk perawatan pulau ini.
Hanya
dari situ saja yang sudah pasti, sedangkan biaya dari pihak-pihak yang
seharusnya bertanggungjawab, tidak jelas. Anda lihat sendiri kondisi
pulau ini. Sampah berserakan. Tidak ada keinginan agar ini menjadi aset
budaya yang memiliki daya jual. Padahal para pewaris tahta kerajaan
hanya ingin melihat pulau ini baik, kata Raja Malik.
Perpustakaan
Di
pulau ini juga terdapat sebuah Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat
yang didirikan oleh almarhum Raja Hamzah Yunus, ayahanda Raja Malik,
yayasan ini telah berhasil mengumpulkan seluruh catatan-catatan sejarah
asli yang dicetak pada zamannya. Seperti majalah di zaman kerajaan
Melayu riau, catatan ketabiban/kedokteran, catatan ilmu pengetahuan
seks, dan tata bahasa yang dihasilkan oleh Raja Ali Haji. Raja Ali Haji
telah diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional dari Kepulauan Riau,
selain dikenal sebagai penelur tata bahasa, Raja Ali Haji juga dikenal
dengan Gurindam-nya. Raja Ali Haji merupakan salah satu anak dari Yang
Dipertuan Muda kerajaan Melayu Riau.
Beberapa
peneliti kerajaan Melayu baik di Singapura, Malaysia dan Belanda secara
kontinyu datang ke pulau ini. Program khusus tentang Melayu dari
universitas di Singapura, mewajibkan mahasiswanya datang ke pulau untuk
melihat sisa-sisa kejayaan kerajaan Melayu, kata Raja Malik.
--------------ooOoo----------------
[1] Tulisan ini telah diedit seperlunya oleh redaktur www.rajaalihaji.com. Naskah asli tulisan ini dapat dilihat di http://www.hupelita.com/baca.php?id=47072.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar