Oleh : Ellyzan Katan
Tamadun
Melayu mengenal konsepsi tentang patut; posisi ideal suatu peristiwa,
kelakuan, dan juga pemikiran. Patut di sini adalah ukuran yang bermain
di tengah kehidupan masyarakat di mana di dalamnya mengandung ketentuan
ketat antara yang sesuai dengan yang tidak sesuai. Sebagai contoh,
pemikiran yang patut bagi seorang Melayu dapat dilihat ketika dia
memikirkan suatu rencana kehidupan yang tidak menyinggung orang lain di
lingkungan sekitar. Ini dinamakan pemikiran yang patut. Sebaliknya, jika
dalam bentuk aksi, individu itu melanggar berbagai nilai dan norma yang
telah lama tertanam dalam diri manusia di lingkungannya, itu
jelas-jelas tidak patut. Intinya adalah yang tidak menimbulkan
pergesekan, konflik di tengah masyarakat, maka dinamakan patut.
Di
sini, jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari, ukuran patut dan
tidak patut akan dengan gampang untuk dilihat. Beberapa kasus kecurangan
dalam pemilihan kepala daerah misalnya, yang pada ujung-ujungnya
menimbulkan rasa tidak senang dari para peserta yang lainnya, juga dapat
dikategorikan hal yang tidak patut. Itu adalah ketidak sesuaian antara
“yang seharusnya” dengan “yang terjadi”. Dalam kasus kecurangan itu akan
melibatkan banyak hujah; alasan yang melatarbelakangi lahirnya
perbuatan yang tidak patut.
Namun dengan begitu pula, akan
menunjukkan bahwa hingga saat ini, kategori patut dan tidak patut yang
dikenal dalam Melayu, menjadi bias. Padahal diakui bahwa dengan
mendudukkan kata patut dalam suatu pemikiran yang riil, menuntun kita
untuk menghindari konflik. Bukan seperti sekarang, dari sebagian besar
kasak kusuk kehidupan perpolitikan di tingkat lokal, justru mengarahkan
opini yang ada pada jawaban yang sangat mengejutkan; kita telah lama
meninggalkan konsepsi patut ini. Ini lantaran kata patut yang telah
berjiwa dan berakar disejajarkan dengan semangat untuk meraih kekuasaan.
Jadinya semua serba dangkal akan nilai kekeluargaan. Sementara
kekuasaan pula, hanyalah jalan yang dapat melegalkan setiap pemikiran
dan tingkah laku dari seorang pemimpin.
Sebelumnya, terlebih
dahulu saya ingin menegaskan di sini bahwa bukan maksud saya untuk
mematahkan logika berpikir dari setiap orang Melayu dalam memandang
ketentuan negara. Padahal pada satu sisi, antara ketentuan yang
dikeluarkan oleh negara dengan cara hidup puak Melayu ada kesamaan
pandangan yang mesti disadari. Bukankah setiap peraturan
perundangan-undangan yang ada diterima oleh setiap puak Melayu tanpa ada
sedikit cela pun? Itu tandanya orang Melayu menyadari bahwa dengan
adanya kepatuhan itu, segala yang mengarah pada hal-hal yang tidak patut
dapat diminimalisir.
Lantas timbul pertanyaan. Termasukkah
kasus korupsi di sini? Saya kira itu adalah pertanyaan yang sangat tepat
untuk kita katakan sebagai pintu gerbang menuju suatu perubahan, bukan
hanya perubahan hukum melainkan juga perubahan sosial.
Korupsi
di sini, yang oleh undang-undang lebih ditekankan pada penyalahgunaan
wewenang untuk mengeruk keuntungan baik materi maupun non materi,
menyentuh urat nadi kehidupan Melayu. Akibat korupsi kesengsaraan mulai
merayap ke mana-mana. Penduduk negeri yang telah merdeka lebih dari
setengah abad ini tak juga menemukan jalan lurus untuk meraih
kesejahteraan. Padahal negara oleh Khan, mempunyai tugas sebagai penjaga
malam. Itu artinya selain mampu memberikan rasa tenang juga harus mampu
menyuguhkan kecukupan ekonomis. Namun jika sebaliknya negara tidak
mampu untuk menerapkan ide dasar yang telah bersusah payah dilahirkan
oleh Khan itu, saya khawatir teori benturan peradaban ala Huntington
semakin menunjukkan gejala yang tegas.
Kita di sini, sebagai
tamadun Melayu misalnya, masih mempunyai beberapa “alat” -kalau boleh
saya berkata demikian- untuk mencari jalan keluar dari pergelutan
masalah yang ada. Selain konsepsi patut, tentunya kita mengenal pula
pantang larang.
Pantang larang di sini juga menyerupai dengan
undang-undang yang dikeluarkan oleh negara. Hanya saja perbedaannya
lebih pada tataran kehidupan secara luas. Pantang larang dikenal dalam
kehidupan keluarga-keluarga Melayu, sementara peraturan
perundang-undangan sebagai suatu produk hukum, mengatur kehidupan
manusia untuk berinteraksi baik sesama manusia maupun dengan negara.
Yang pasti pantang larang dalam Melayu adalah bentuk-bentuk nilai dan
norma yang tak terbantahkan. Saya kira saatnyalah kita kembali
mengangkat segala seluk beluk kekayaan kulutural yang masih ada secara
tradisional ke tengah kehidupan modern saat ini, tentu saja dengan
penyesuaian yang lebih dianggal ideal bagi perkembangan dan kebutuhan
zaman.
Memang dibutuhkan suatu pemahaman yang khusus untuk dapat
mensejajarkan konsepsi patut dan pantang larang dalam Melayu dengan
segala leguh legah kehidupan. Ini berarti juga puak Melayu memegang
kuat-kuat teraju kultural agamis yang ada.
Jangan melakukan
korupsi, itu tidak patut. Jangan berbuat kolusi, itu juga tidak patut.
Alasannya masih ada pantang larang yang mesti diperhatikan sebab dengan
begitu lahirlah tatanan kehidupan tamadun Melayu yang utuh bernuansa
Melayu. Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas telah berkata; “Tahu
pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan. Bukannya manusia yaitulah
syaitan.”
Jauh-jauh hari, sang sastrawan besar Melayu itu telah
menaburkan rambu-rambu dalam bermasyarakat, dan bernegara. Itu karena
dalam kaca mata Melayu, antara patut dan tidak patut, tetap akan
mengikut sertakan pantang larang di dalamnya. Sama ada sebagian dari
kita masih menyangsikannya, itu urusan lain. Bukan mengapa, sekaranglah
bagi kita untuk kembali mengingatkan diri tentang keberadaan nilai-nilai
petuah Melayu menjadi wujud nyata untuk bertingkah laku.
Konsepsi
patut perlu dikukuhkan lagi. Dengan bertingkah laku patut akan dapat
memberikan ketenangan bukan hanya bagi diri pribadi, melainkan juga bagi
lingkungan. Seseorang yang bertingkah patut dengan serta merta akan
dapat memposisikan diri pada jalur kebaikan, tentu saja ia berada dalam
lindungan Tuhan Yang Kuasa.
Nah, jika sudah sampai pada tahap
ini, masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadinya konflik, baik
horizontal maupun vertikal. Semua telah dapat diredam sedemikian rupa.
Jadinya kawasan Melayu, sebagaimana dulu pernah diangan-angankan oleh
para raja-raja sebagai kawasan yang luas, yang didalamnya dapat
memberikan ketenangan lahir dan batin, dapat diwujudkan. Kehidupan
mengalir dengan sempurna sesuai kehendak dan harapan.
Saat itu
tidak akan lagi dijumpai perselisihan sebab perselisihan telah
dipadamkan dengan sendirinya oleh kesadaran akan berkelakuan yang patut.
Begitu juga terhadap pertembungan antara kejahatan dan kebaikan,
terkikis dengan sendirinya.
Ah, betapa saya kerap membayangkan
tamadun Melayu akan menjunjung tinggi kata patut dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Betapa saya selalu menghayalkan puak Melayu
menemukan jalannya untuk menumbuhkan kesadaran akan patut dan tidak
patut serta keberadaan pantang larang. Mudah-mudahan dengan begitu semua
petuah yang terkandung dalam Gurindam Duabelas dapat menjadi bukan
hanya sekedar pajangan dilemari kebudayaan belaka, melainkan sebagai
petunjuk. Bukankah setiap pekerjaan yang telah benar, tidak akan
menimbulkan onar?
Ranai, 23 Oktober 2008
_______________________________________________________________________________
Oleh : Mahyudin Al-Mudra
Pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu
mesti beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di
kawasan Melayu, sepertinya sudah tidak kontekstual dan memadai lagi,
terlebih lagi di era globalisasi dan multikultural seperti sekarang ini.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa proposisi di atas
diajukan. Pertama, mempertimbangkan fakta sejarah tentang migrasi
orang-orang Melayu dari Teluk Tonkin (wilayah Yunan), Tiongkok Barat
Daya, menuju nusantara yang berlangsung melalui dua gelombang. Gelombang
pertama berlangsung sekitar 5000-1500 tahun SM. Gelombang migrasi
pertama orang-orang Melayu ini, atau yang disebut sebagai Melayu Tua
(Proto Melayu), kemudian melahirkan keturunan-keturunan seperti Suku
Batak, Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Nias di Sumatra,
juga Suku Dayak di Kalimantan. Gelombang kedua, yang selanjutnya disebut
sebagai Melayu Muda (Deutro Melayu), berlangsung sekitar 200-300 tahun
SM. Disebabkan oleh penguasaan teknologi yang lebih baik, kehadiran
orang-orang Melayu Muda ini selanjutnya membuat para pendahulunya
terdesak karena kalah bersaing, sehingga orang-orang Melayu Tua terpaksa
menyingkir ke kawasan-kawasan pedalaman. Karena posisinya yang lebih
dominan, orang-orang Melayu Muda juga dengan leluasa menyebar ke seluruh
penjuru nusantara untuk mengembangkan pemukiman baru. Dari keturunan
mereka inilah kelak lahir suku-suku seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar,
dan suku-suku berbahasa Minangkabau (Yuanzi, 2005: 3-4).
Jika
merujuk pada pendapat di atas, bisa dipastikan bahwa sebagian besar
penduduk nusantara saat ini adalah tergolong rumpun Melayu (atau ras
Mongoloid), kecuali sebagian besar penduduk asli di bumi Papua (ras
Negrito) dan Suku Badui di Jawa Barat, serta Suku Toala di Sulawesi,
yang tergolong ras Wedda. Mengenai dua suku yang disebut terakhir,
memang masih debatable. Sebagian ahli menyebut mereka termasuk rumpun
Melayu Tua, karena bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan sebagian
besar orang Melayu, sedang yang lain menganggap tidak –karena mereka
telah eksis jauh sebelum terjadi migrasi gelombang pertama orang-orang
Yunan ke nusantara.
Kedua, mengkerutnya dimensi ruang-waktu
akibat penetrasi globalisasi. Sebagai sebuah tren global, globalisasi
telah menyediakan infrastruktur kebudayaan yang memungkinkan orang
bergerak secara lebih leluasa, berpindah dari satu kawasan ke kawasan
lain, melakukan kawin campur dengan ras lain, atau mengadopsi identitas
dan budaya orang lain. Fenomena ini juga tidak bisa dihindari oleh
orang-orang Melayu, sehingga bukan bukan hal yang aneh ketika saat ini
kita menjumpai banyak orang Melayu tidak lagi tinggal di kawasan Melayu
dan tidak lagi mempraktekkan tradisi dan budaya Melayu.
Berangkat
dari dua alasan di atas, sebuah identitas baru bagi puak-puak Melayu
cukup urgen untuk diwacanakan. Namun, tulisan ini tidak bermaksud
menyuarkan kembali identitas romantik kemelayuan yang bernuansa
eksklusif, sebagaimana tercermin dalam gagasan Melayu Raya dalam sistem
Pan-Malaysianisme yang diwacanakan oleh Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan
Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an. Tulisan ini hendak
menawarkan yang sebaliknya --berusaha mengafirmasi keragaman ekspresi
berbudaya puak-puak Melayu di nusantara (bahkan dunia) –yang dalam
konteks tertentu telah mengalami transformasi cukup massif akibat
kehidupan dunia yang senantiasa berubah.
Ragam ekspresi
Meskipun
secara historis suku-suku yang tinggal di nusantara dapat dianggap
berasal dari nenek moyang yang sama, namun tersebab faktor-faktor
tertentu mereka akhirnya membangun identitas kebudayaan yang
berbeda-beda. Sama halnya dengan orang-orang Eropa, yang konon juga
berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu suku-suku bar-bar yang
tinggal di kawasan –yang sekarang ini lebih dikenal sebagai Skandinavia.
Jika
keragaman ekspresi kebudayaan nusantara direntang dari Sabang sampai
Merauke, bisa dipastikan tak ada negara manapun di dunia ini yang
memiliki tingkat keragaman budaya melebihi Indonesia. Terdapat ratusan,
bahkan ribuan adat istiadat yang terbabar mulai dari tata cara
perkawinan, tarian adat, pakaian adat, cara bercocok tanam, cara
menyambut tamu, pembagian warisan, dan masih banyak lagi. Belum lagi
ketika hal-hal yang lebih abstrak juga dibandingan –misalnya saja
tentang pandangan hidup –akan dijumpai betapa negeri kepulauan yang
bernama Indonesia ini dihuni oleh ratusan kelompok etnik dengan berbagai
macam konsep kosmologi dan sistem religi.
Bahkan, setelah
“agama impor” (Hindu, Budha, Kristen, Islam) datang dan mulai
menancapkan pengaruhnya di Indonesia, karakter universalnya tetap saja
tak mampu menghapus keragaman adat-istiadat yang berkembang di
nusantara. Dalam konteks tertentu, justru agama-agama tersebut yang
dipaksa harus berdamai dengan adat-istiadat lokal. Sekedar contoh, sebut
saja Islam Wetutelu yang berkembang di Lombok, Islam Kejawen, Islam
Suku Talang Mamak, Islam Suku Kajang, atau agama adat Batak dengan
konsep Debata na tolu-nya, yang dipengaruhi ajaran tri-murti agama
Hindu.
Mendefinisikan identitas kemelayuan di tengah fakta
sosial yang menyuguhkan keragaman ekspresi kebudayaan memang bukan
persoalan mudah. Namun, hal inilah yang justru menjadi tantangan
tersendiri. Selagi ihktiar tetap diniatkan di atas prinsip toleransi dan
saling menghormati, keragaman budaya bukanlah kutukan, melainkan berkah
sosial yang tak ternilai harganya.
Perspektif holistik-integratif
Melihat
betapa beragamnya ekspresi identitas dan kebudayaan puak-puak Melayu di
nusantara, terlebih lagi di dunia, membuat perspektif lama yang
menganggap bahwa orang Melayu harus beragama Islam, beradat dan
berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sudah saatnya
dikoreksi. Sebab, Melayu sebagai sebuah identitas kultural sejatinya
tidak dapat direduksi berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.
Jika
merujuk pada dua alasan di atas, setidaknya ada tiga implikasi yang
dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat identitas Melayu secara
baru. Pertama, lantaran hampir semua suku bangsa yang tinggal di
nusantara adalah keturunan orang-orang Yunan dari tanah Tiongkok, yang
selanjutnya disebut sebagai orang Melayu, maka sebagian besar penduduk
Indonesia saat ini dengan sendirinya juga dapat disebut sebagai orang
Melayu. Kedua, setelah orang-orang Melayu ini menyebar ke seluruh
penjuru nusantara dan membentuk adat-istiadatnya masing-masing, maka
menghubungkan Melayu hanya dengan suku, adat, wilayah, dan (bahkan)
agama tertentu adalah tindakan yang ahistoris.
Ketiga, seiring
dengan laju globalisasi yang kian pesat, banyak orang-orang Melayu
diaspora yang tinggal di kawasan dan mengadopsi identitas kultural
non-Melayu. Bahkan, dalam konteks tertentu, mereka telah tercerabut dari
akar budaya Melayu-nya dan memilih untuk mengadopsi identitas yang
lebih kosmopolit –identitas universal yang berusaha melampaui asal-usul.
Bertolak dari implikasi di atas, dan tentu dengan sekian
keterbatasan, saya mencoba menawarkan sebuah identitas Melayu secara
lebih holistik. Holistik dalam konteks ini tidak berkonotasi pada sebuah
pengandaian yang mengatasi segala bentuk perbedaan. Justru sebaliknya,
perspektif holistik yang saya tawarkan adalah afirmasi terhadap
perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan suku, agama, adat,
budaya, juga kewarganegaraan, bukanlah kendala untuk menciptakan
persaudaraan antara puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh penjuru
dunia.
Identitas Melayu baru adalah pengandaian yang dibuat
berdasarkan kesadaran betapa multikulturalisme adalah fakta sosial yang
tidak dapat ditampik. Identitas Melayu baru ibarat rumah yang
menyediakan ruang tanpa batas untuk berbagi ekspresi bagi puak-puak
Melayu di seluruh penjuru dunia. Identitas Melayu baru adalah ‘medan
kontestasi‘ bagi siapapun yang merasa dan menganggap dirinya sebagai
puak Melayu. Perbedaan, ketegangan, ataupun pola-pola transformasi yang
berhubungan dengan pembentukan identitas kemelayuan, tidak dianggap
sebagai bibit-bibit persengketaan, melainkan modal kultural yang
berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan dialog kultural yang
dilandasi semangat saling memahami dan toleransi.
Sumber : Koran Tempo Minggu 3 Agustus 2008
Mahyudin Al Mudra adalah Pendiri dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
________________________________________________________________________________
Orang Melayu selalu mengidamkan anaknya menjadi ‘orang’, dalam
pengertian menjadi orang yang berhasil, baik lahir maupun batin. Oleh
sebab itu, mereka sangat memperhatikan pendidikan anak-anak sejak dini.
Berbagai cara mereka gunakan sebagai media unutk menyampaikan ajaran
agama dan adat resam, dengan harapan, ajaran agama dan adat resam
tersebut tertanam dalam di sanubari anak-anak mereka. Salah satu media
yang digunakan para orang tua adalah lagu dodoi. Kalau kita pergi
jalan-jalan ke desa-desa Melayu, masih sering terdengar seorang ibu
bersenandung menidurkan anaknya dalam buaian atau gendongan. Lirik
lagu-lagu dodoi tersebut biasanya berisi ajaran moral dan nasihat. Maka,
melalui senandung lagu dodoi tersebut, seorang ibu bisa melakukan dua
hal sekaligus: menidurkan anak, dan pada saat yang sama mengajari
anaknya nilai-nilai moral dan agama. Berikut ini beberapa contoh
lagu-lagu dodoi yang sering disenandungkan oleh seorang ibu ketika
menidurkan anaknya; seorang nenek ketika menidurkan cucunya; ataupun
seorang kakak ketika menidurkan adiknya:
“Ya Allah Malikul Rahman
Anakku ini berilah iman
Amal ibadat minta kuatkan
Setan iblis minta jauhkan”
“Dari kecil cencilak padi
Sesudah besar cencilak padang
Darilah kecil duduk mengaji
Sesudah besar tegak sembahyang”
“Pucuk dedap selera dedap
Sudah bertangkai setapak jari
Duduklah anak membaca kitab
Sesudah pandai tegak berdiri”
“Apa berdebuk seberang pekan
Buli-buli yang kena jerat
Buah yang mabuk jangan dimakan
Batang berduri usah dipanjat”
“Jangan suka mematahkan parang
Tangan luka gagangnya rusak
Jangan suka menyusahkan orang
Tuhan murka orang pun muak”
“Mencabut tebu tidaklah mudah
Banyak sekali duri lalangnya
Menuntut ilmu tidaklah mudah
Bayak sekali aral halangnya”
“Petang Jumat memukul bedug
Sesudah azan orang pun qamat
Peganglah amanat elok-elok
Supaya badan hidup selamat”
“Jong-jong inai
Mak Ipung rajawali
Tersepak tunggul inai
Berdarah ibu kaki”
“Pok amai-amai
Belalang kupu-kupu
Tepuk adek pandai
Kalau malam minum susu
Susu lemak manis
Santan kelapa muda
Adik jangan menangis
Emak ayah pergi kerja”
“Emak gali kunyit
Kawan gali rebung
Banyak dapat duit
Simpan dalam tabung
Berikut sebuah contoh lagu dodoi yang lain:
DODOI SI DODOI
Buah hatiku junjungan jiwa (2x)
Tidur-tidurlah ya anak
Ibu dodoikan ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....
Reff.
Janganlah anak suka menangis (2x)
Ayahmu jauh ya anak
Di rantau orang ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....
Tidurlah anak dalam ayunan (2x)
Tidurlah nyenyak ya anak
Sambil kubuai ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....
Sumber:
Tenas
Effendy. 2004. Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu. Yogyakarta: AdiCita
Karya Nusa dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Majelis Peperiksaan Malaysia. Mutiara Sastra Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: 2005
DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa
yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan
berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan
Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara
dari Cina.
Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah
muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan
keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah
Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan
pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan
keturunan Iskandar Zulkarnain.
Menurut catatan sejarah, Raja
Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian
berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan
berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan
serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali
dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa
bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat
kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka
mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan
Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan
mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin
perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.
Laksamana
Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan
tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan
perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin
hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan
itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan
Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan
Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.
Tak sampai di
situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu
menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia.
Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi
medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga
seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa
keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.
Inilah
cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu,
bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap
berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman
Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan
kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik
kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan
bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata,
tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah
yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.
Jika
sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga
saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok
dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru
pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan
dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum
Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara
kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi
mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji
mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra
Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga
Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh
dan gemilang sedemikian rupa.
Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan
sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya
sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula
dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan
dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual
Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi
masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia
intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul
Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam'
(1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan
Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).
Semua
ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh
penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan
ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan
sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak
masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk
membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima
ilmu yang dapat memajukan mereka.
Kemunculan kaum intelektual,
cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di
bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini
sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi
Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan
pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi
pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini
kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin
Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka
melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir
Melayu.
Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan
adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga
tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini
juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian
itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi
bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya
penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan
santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi
kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi
tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu
keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang
yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek
moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang
tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang
meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah
membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita
perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa
yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…
sumber : http://melayuiin.blogspot.com/
Senjata
tradisional amat berkait rapat dengan sejarah Melayu yang diwarisi oleh
orang Melayu sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka lagi. Persejarahan
senjata di Malaysia amat rapat dengan unsur-unsur seni mempertahankan
diri seperti silat. Keterampilan rekacipta Pandai Besi maka kepelbagaian
alat persenjataan telah terhasil, antara yang amat digemari sehingga
kini seperti keris, parang, kelewang, beladau, tombak dan banyak lagi.
Peranan
senjata amatlah penting dalam naluri hidup manusia, selain dari
digunakan sebagai alat berperang atau mempertahankan diri serta hiasan
ianya juga dikaitkan dengan unsur-unsur alam ghaib. Sesetengah mereka
mempercayai sesuatu senjata itu mempunyai kuasa dalaman yang dapat
membantu mempertingkatkan ilmu kebatinan kepada si pemiliknya.
Kelok-kelok
yang dibentuk pada senjata melambangkan nilai-nilai estetika yang
tersendiri dalam menggambarkan daya imaginasi kemelayuan sejak
zaman-berzaman dengan teliti dan kreatif. Dengan pelbagai bentuk senjata
tradisional yang kebanyakkannya berasal-usul dari luar yang diwarisi
oleh nenek moyang mereka juga melambangkan ketinggian daya pemikiran
dalam mengungkapkan segala makna yang tersurat dan tersirat.
Pada
kebanyakan senjata seperti keris, lawi ayam, tumbuk lada, kelewang
serta beberapa rumpunan yang serupa dengannya akan dihiasi dengan hulu
yang diukir indah serta diberikan nama-nama tertentu seperti Jawa Demam,
Kepala Nuri, Anak Ayam Teleng dan lain-lain. Tidak ketinggalan juga
dengan sarung atau rangka yang kebiasaannya diperbuat dari kayu yang
baik seperti teras nangka, tempinis, kayu kemuning, raja kayu dan
sebagainya.
sumber : http://malaysiana.pnm.my/
__________________________________________________________________________________