Jumat, 23 November 2012
ALAM BUMI MERANTI
Objek Tempat Wisata
- Perayaan Imlek/Chinese New Year di Selatpanjang
Imlek tak ubahnya seperti tahun baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat islam. Imlek adalah Tahun Baru Cina. Pada umumnya, yang banyak merayakan Imlek adalah warga Tionghoa. Namun bagi umat lain yang beraliran sama juga bisa merayakan Hari Raya Imlek.
Acara Perayaan Imlek memang sudah menjadi bagian dari tradisi di Kota Selatpanjang. Hampir setiap tahun perayaan Imlek di kota ini dirayakan sangat meriah bahkan juga termasuk Perayaan Imlek yang paling meriah di kawasan Provinsi Riau. Apalagi pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti juga sudah menjadikan ivent perayaan Imlek sebagai salah satu asset wisata tahunan yang masuk kedalam Kalender Wisata Riau.Puluhan ribu orang baik dari dalam maupun luar Selatpanjang bahkan wisatawan dari luar negeri seperti Singapore,Malaysia,Hongkong,China,Taiwan,Australia akan membanjiri Kota Selatpanjang untuk turut serta memeriahkan perayaan Imlek.Imlek bagi sejumlah warga Tionghoa Selatpanjang yang berada di luar daerah maupun diluar negeri dijadikan ajang Tradisi Mudik, ini sudah berlangsung lama bahkan mereka anggap sebagai momentum penting untuk mudik ke tanah kelahiran. Rangkaian kemeriahan perayaan Imlek di kota Selatpanjang ada sedikit berbeda dengan dibandingkan daerah lain seperti Pontianak, Singkawang, Palembang, Pangkal Pinang, Medan, Binjai, Semarang dan Bagansiapiapi, dimana didaerah lain kemeriahan imlek cuma berlangsung satu atau dua,tiga hari saja yaitu hari ke 1 (pertama) dan di hari ke 15 (Cap go meh), tetapi kemeriahan imlek di Selatpanjang berlangsung selama 7 hari berturut-turut yaitu dari hari awal menjelang imlek sampai hari ke 6 ( Cue Lak ).Hal ini menjadikan Selatpanjang sebagai kota yang mempunyai rangkaian acara kemeriahan imlek terlama di seluruh Indonesia. Puncak acara Perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang berlangsung pada hari ke-6 bulan pertama Tahun Baru Imlek yang biasanya disebut Cue Lak (Bahasa Hokkian),tetapi kemeriahannya mulai terasa dihari H-7 yaitu seminggu sebelum jatuhnya perayaan Imlek.
Mengawali penyambutan tahun baru imlek di selatpanjang di pusatkan di Vihara Sejahtera Sakti, Selain mengelarkan sembahyang,yang paling unik didaerah ini adalah warga yang merayakan juga berkeliling kota pada waktu sore hari dengan mengunakan Bentor ( Becak Motor ) biasanya berlansung selama 6 hari. Sebelum puncak acara imlek biasa diawali Festival Kembang Api pada hari Ke 5, durasi kembang api biasa berlangsung cukup lama,kurang lebih (±)sampai 3 jam lamanya tanpa henti,hal itu yang membuat ketertarikan wisatawan dari dalam maupun luar negeri untuk menyaksikan,karena itu imlek secara tidak langsung menjadi ajang promosi spektakuler wisata budaya unggulan yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti
Pada puncak perayaan imlek merupakan hari dimana bertepatan dilangsungkan perayaan untuk ulang tahun Dewa 清水祖師 Qing Shui Zu Shi[10].(Bahasa Mandarin)/Ching Cui Co Su (Bahasa Hokkian)(nama dewa).Pada moment ini warga Tionghoa menyakinkan bahwa sang Dewa tersebut sedang turun ke bumi dengan maksud untuk mengusir unsur unsur kejahatan dan memberikan kemakmuran dan ketentraman bagi warga kota Selatpanjang. Untuk itu diadakan penyambutan khusus dengan menggotong tandu patung Dewa dan dipawai berkeliling kota melewati beberapa kelenteng lain disertai menggelar atraksi tarian Liong (naga), dan atraksi Barongsai(singa) dan diiringi seni budaya Jawa reog ponorogo yang berasal dari Jawa Timur.Perayaan pada Cue Lak tersebut juga diiringi oleh para tetua atau orang yang terpilih dan dirasuki oleh roh para dewa yang biasa disebut Thangkie yaitu dimana raga atau tubuh orang tersebut dijadikan alat komunikasi atau perantara roh dewa tersebut, hal itu ada kesamaan di kota singkawang ( kalimantan Barat ) yang biasa dikenal Tatung.
Konon, perayaan Imlek di Selatpanjang dapat juga diartikan sebagai sebuah rezeki bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah ini. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat yang non etnis Tionghoa biasanya juga turut ikut meramaikan perayaan Imlek dengan iring-iringan reog Ponorogo (bagi masyarakat Jawa) dan atraksi-atraksi kesenian lain yang merupakan tradisi dari daerah setempat.
Kegiatan ini juga diharapkan dapat lebih mempromosikan kecintaan masyarakat akan khasanah pluralitas seni dan budaya yang ada di masyarakat. Di Daerah sinilah keunikan acara perayaan Imlek, dimana berbagai macam suku bangsa dan agama dapat berbaur, sehingga kerukunan umat beragama di Meranti, terutama di Kota Selatpanjang, selalu terjaga dengan baik.Perayaan biasanya dirayakan pada bulan Januari atau Februari.
- Kelenteng Hoo Ann Kiong (Vihara Sejahtera Sakti)
- Wisata Bahari Pesisir Pantai Pulau Rangsang
- Tasik Nambus/Nambus Lake
- Tasik Air Putih/Air Putih Lake
- Tasik Putri Pepuyu/Putri Pepuyu Lake
- Pulau Legenda Dedap Durhaka/Dedap Durhaka Legend Island
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Meranti
Jumat, 09 November 2012
Masjid Jami' Bukti Kesatuan Negeri
Ari
Ari
BERKUNJUNG ke Kabupaten Kampar belumlah lengkap
tanpa mengunjungi Mesjid Jami'. Mesjid kebanggaan negeri serambi Mekah
Riau ini terletak di Kecamatan Air Tiris dan berdekatan dengan pasar.
Semula mesjid ini adalah sebuah mushola berukuran 6m x 8m yang digunakan
untuk kebutuhan beribadah para penjual, pembeli dan masyarakat
sekitarnya saat panggilan suci tiba.
Mesjid Lambang Kesatuan Negeri
Pesatnya perdagangan terutama beras dan membuat pasar Air Tiris yang pertama tersebut menjadi pusat perdagangan yang diperhitungkan. Musholapun tidak lagi mampu menampung jemaahnya.
Pada tahun 1901 dengan Datuk Ongku Mudo Sangkal tokoh agama setempat mengumpulkan seluruh masyarakat kenegerian Air Tiris yang terdiri dari 24 negri untuk membangun sebuah mesjid.
Setiap kenegerian membawa satu tiang yang digunakan sebagai tiang tengah mesjid. Kedua puluh empat tiang tersebut masih ditambah lagi dengan 12 tiang sumbangan dari masyarakat. Pasak bukannya paku yang digunakan memperkokoh bangunan tersebut sekaligus memberikan keunikan.
Pembangunan mesjid dikerjakan dengan gotong royong oleh masyarakat tanpa ada yang mendapatkan upah. Mesjid Jami terbukti telah menyatukan masyarakat kenegerian Air Tiris.
Menurut M. Ali selaku Kepala Desa setempat, pada jaman pendudukan Belanda, banyak usaha untuk memperlemah kesatuan masyarakat tersebut. Salah satunya adalah dengan membakar mesjid Jami yang posisinya tidak jauh dengan pos mereka. Usaha tersebut tidaklah berhasil karena mesjid masih tetap berdiri utuh.
Bentuk Mesjid dan Pelestariannya
Mesjid Jami' berbentuk bangunan panggung berwarna cokelat tua ini memiliki pintu sebanyak 3 buah yang terletak di depan dan di samping. Jumlah jendela sebanyak 12 buah yang berhiaskan ukiran. Bila diamati dengan jelas, masing-masing jendela memiliki ukiran dengan motif yang berbeda-beda. Ternyata keseluruhan ukiran dalam mesjid terdiri dari 24 macam yang mewakili seni dan kebudayaan masing-masing kenegeraian.
Bangunan tengah mesjid memiliki ketinggian 25 meter dan atap mesjid terdiri dari tiga tingkat. Masing-masing tingkat berhiaskan ukiran khas atap bangunan Melayu pada tiap sudutnya. Pada samping mesjid dapat dijumpai menara yang di bagian bawahnya terdapat kolam bak air yang di dalamnya diletakkan sebuah batu menyerupai kepala kerbau. Batu tersebut menurut cerita dapat berpindah-pindah sendiri tanpa ada yang mengangkatnya.
Mesjid Jami' pertama kali direnovasi pada tahun 1982 dengan dibantu oleh pemerintah provinsi. Salah satu yang bagian mesjid yang direnovasi adalah lantainya. Pada tahun 1982 kembali dilakukan renovasi berupa penggantian menara.
Menurut M. Ali saat ini Mesjid Jami' masuk sebagai cagar budaya di Batu Sangkar dan diharuskan untuk tidak merubah fisik mesjid termasuk ukiran-ukiran di dalamnya. Meskipun beberapa kali diusulkan merubah warna cat mesjid tersebut, tetapi sampai saat ini mesjid tersebut masih berwarna cokelat tua.
Pemeliharaan mesjid tetap dilakukan oleh masyarakat Air Tiris dibantu oleh dana yang selain diperoleh dari masyarakat juga dari kunjungan-kunjungan jemaah baik dari nusantara maupun luar negeri.
Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memelihara warisan nenek moyang kita. Tidak perlu menunggu bantuan dari pemerintah, sudah selayaknyalah kita juga harus memperhatikannya. Mesjid Jami' inilah sebagai contoh pemersatu masyarakat dan masyarakat yang bersatu memeliharanya. (ari)
Mesjid Lambang Kesatuan Negeri
Pesatnya perdagangan terutama beras dan membuat pasar Air Tiris yang pertama tersebut menjadi pusat perdagangan yang diperhitungkan. Musholapun tidak lagi mampu menampung jemaahnya.
Pada tahun 1901 dengan Datuk Ongku Mudo Sangkal tokoh agama setempat mengumpulkan seluruh masyarakat kenegerian Air Tiris yang terdiri dari 24 negri untuk membangun sebuah mesjid.
Setiap kenegerian membawa satu tiang yang digunakan sebagai tiang tengah mesjid. Kedua puluh empat tiang tersebut masih ditambah lagi dengan 12 tiang sumbangan dari masyarakat. Pasak bukannya paku yang digunakan memperkokoh bangunan tersebut sekaligus memberikan keunikan.
Pembangunan mesjid dikerjakan dengan gotong royong oleh masyarakat tanpa ada yang mendapatkan upah. Mesjid Jami terbukti telah menyatukan masyarakat kenegerian Air Tiris.
Menurut M. Ali selaku Kepala Desa setempat, pada jaman pendudukan Belanda, banyak usaha untuk memperlemah kesatuan masyarakat tersebut. Salah satunya adalah dengan membakar mesjid Jami yang posisinya tidak jauh dengan pos mereka. Usaha tersebut tidaklah berhasil karena mesjid masih tetap berdiri utuh.
Bentuk Mesjid dan Pelestariannya
Mesjid Jami' berbentuk bangunan panggung berwarna cokelat tua ini memiliki pintu sebanyak 3 buah yang terletak di depan dan di samping. Jumlah jendela sebanyak 12 buah yang berhiaskan ukiran. Bila diamati dengan jelas, masing-masing jendela memiliki ukiran dengan motif yang berbeda-beda. Ternyata keseluruhan ukiran dalam mesjid terdiri dari 24 macam yang mewakili seni dan kebudayaan masing-masing kenegeraian.
Bangunan tengah mesjid memiliki ketinggian 25 meter dan atap mesjid terdiri dari tiga tingkat. Masing-masing tingkat berhiaskan ukiran khas atap bangunan Melayu pada tiap sudutnya. Pada samping mesjid dapat dijumpai menara yang di bagian bawahnya terdapat kolam bak air yang di dalamnya diletakkan sebuah batu menyerupai kepala kerbau. Batu tersebut menurut cerita dapat berpindah-pindah sendiri tanpa ada yang mengangkatnya.
Mesjid Jami' pertama kali direnovasi pada tahun 1982 dengan dibantu oleh pemerintah provinsi. Salah satu yang bagian mesjid yang direnovasi adalah lantainya. Pada tahun 1982 kembali dilakukan renovasi berupa penggantian menara.
Menurut M. Ali saat ini Mesjid Jami' masuk sebagai cagar budaya di Batu Sangkar dan diharuskan untuk tidak merubah fisik mesjid termasuk ukiran-ukiran di dalamnya. Meskipun beberapa kali diusulkan merubah warna cat mesjid tersebut, tetapi sampai saat ini mesjid tersebut masih berwarna cokelat tua.
Pemeliharaan mesjid tetap dilakukan oleh masyarakat Air Tiris dibantu oleh dana yang selain diperoleh dari masyarakat juga dari kunjungan-kunjungan jemaah baik dari nusantara maupun luar negeri.
Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memelihara warisan nenek moyang kita. Tidak perlu menunggu bantuan dari pemerintah, sudah selayaknyalah kita juga harus memperhatikannya. Mesjid Jami' inilah sebagai contoh pemersatu masyarakat dan masyarakat yang bersatu memeliharanya. (ari)
Selasa, 17 April 2012
Faren Malay : ARTI TEPAK SIRIH
Masyarakat
Melayu terkenal dengan sifat sopan santun, berbudi bahasa serta penuh
dengan adat budaya dalam menjalani kehidupan seharian. Adat lebih
diutamakan, bak kata pepatah ‘biar mati anak jangan mati adat’,
lebih-lebih lagi ketika mengadakan majlis meminang, bertunang dan
pernikahan. Untuk memulai upacara merisik, pertunangan dan pernikahan,
masyarakat Melayu menggunakan tepak sirih sebagai pembuka kata.
Dalam adat bersirih, setiap bahan yang terkandung mempunyai pengertian dan membawakan maksud tertentu.
Dalam adat bersirih, setiap bahan yang terkandung mempunyai pengertian dan membawakan maksud tertentu.
SIRIH : Memberi arti sifat yang merendah diri dan sentiasa memuliakan orang lain, sedangkan dirinya sendiri adalah bersifat pemberi.
KAPUR : Melambangkan hati seseorang yang putih bersih serta tulus, tetapi jika keadaan tertentu yang memaksanya ia akan berubah lebih agresif dan marah.
GAMBIR : Dengan sifatnya yang kelat kepahit-pahitan memberikan arti ketabahan dan keuletan hati.
PINANG : Digambarkan sebagai lambang keturunan orang yang baik budi pekerti, tinggi darjatnya serta jujur. Bersedia melakukan sesuatu perkara dengan hati terbuka dan bersungguh-sungguh
TEMBAKAU : Melambangkan seseorang yang berhati tabah dan sedia berkorban dalam segala hal
Tepak sirih digunakan sebagai barang perhiasan dan atau dalam upacara-upacara resmi. karena tepak sirih penting dalam adat istiadat, maka tidak layak digunakan sembarangan.
Dulang tepak sirih ini terbagi dua bagian, di bagian atas disusun empat cembul dengan urutan susunan : pinang, kapur, gambir dan tembakau. Di bagian bawah pula disusun cengkeh, daun sirih dan kacip.
Bagi masyarakat Melayu, sirih disusun sedemikian rupa untuk menunjukkan tertib ketika mengapur sirih, yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan. Daun-daun sirih yang disusun dalam tepak sirih hendaklah dilipat bersisip antara satu sama lain dan disamakan tangkainya, disusun sebanyak lima atau enam helai dalam satu baris. Satu tepak sirih selalunya mengandungi empat atau lima susun sirih tadi. Sirih yang berlipat ini wajib dibuat kerana hendak mengelak dari terlihat ekor sirih itu. Ekor sirih tidak boleh dinampakkan karena dianggap satu keadaan yang kurang sopan dan tidak menghormati tamu. Tepak sirih yang telah lengkap ini dihias dengan bunga dan dibungkus dengan kain songket.
Faren Malay : URUTAN NAMA ANAK MELAYU
Anak pertama : si Ulung (Iyung, Ulong)
Anak kedua : si Ngah
Anak ketiga : si Alang
Anak keempat : si Uteh
Anak kelima : si Andak
Anak keenam : si Uda
Anak ketujuh : si Ucu (Uncu, busu, bongsu)
Anak kedelapan : si Ulung Cik ( Ulung Kecik)
Anak kesembilan : si Ngah Cik
Anak kesepuluh : si Alang Cik
Anak kesebelas : si Uteh Cik
Anak keduabelas : si Andak Cik
Anak ketigabelas : si Uda Cik
Anak keempatbelas : si Cik (si Kecil atau si Kecik)
Panggilan untuk anak laki-laki si Kolok
Panggilan untuk anak perempuan si Subang
Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.
Faren Malay : UPACARA TEPUNG TAWAR
Telah menjadi adat kebiasaan, puak melayu memakai tepung tawar pada
beberapa upacara dan kejadian-kejadian penting, umpamanya pada
perkawinan, pertunangan, sunat rasul (khitan) ataupun jika seseorang
kembali dengan selamat dari sesuatu perjalanan ataupun terlepas dari
mara bahaya ataupun mendapat rahmat yang diluar dugaan.
Maka ditepung tawarilah yang berkepentingan dengan pengharapan ia akan tetap selamat dan bahagia hendaknya. Logat tepung tawar mulanya ialah TAMPUNG TAWAR, yaitu dalam kata “ditampung tangan untuk menerima penawar (obat)”
Tepung Tawar ini berasal dari zaman leluhur berpuluh abad yang lalu. Susunan tepung tawar yang biasa digunakan oleh masyarakat melayu dalam garis besarnya terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu :
- Ramuan Penabur
- Ramuan Rinjisan
- Pedupaan (Perasapan)
Ketiga bagian di atas dirinci pula sebagai berikut :
RAMUAN PENABUR
Di atas wadah terletak sepiring beras putih, sepiring beras kuning, sepiring bertih dan sepiring tepung beras, sebagai pelambang sebagai berikut :
- Beras putih = kesuburan
- Beras Kuning = kemuliaan, kesungguhan
- Bertih = perkembangan
- Bunga Rampai = keharuman (nama)
- Tepung beras = kebersihan hati.
- Arti keseluruhan dari bahan-bahan di atas adalah kebahagiaan
RAMUAN RINJISAN
Sebuah mangkuk putih (dulu tempurung kelapa puan) berisi air biasa, segenggam beras putih dan sebuah jeruk purut yang telah di iris-iris. Di dalam mangkuk tersebut juga diletakkan sebuah ikatan daun-daunan yang terdiri dari 7 macam daun, yaitu :
- Daun Kalinjuhang (silinjuhang)
- Tangkai pohon pepulut (sipulut) dengan daun
- Daun Gandarusa atau daun sitawar
- Daun jejerun (jerun-jerun)
- Daun sepenuh
- Daun sedingin
- Pohon sembau dengan akarnya
Ketujuh daun di atas diikat dengan akar atau benang jadi satu berkas kecil sebagai rinjisan. Adapun arti dari bahan-bahan di atas adalah sebagai berikut :
Mangkuk putih berisi air = kejernihan; beras = kesuburan; irisan-irisan jeruk purut = membersihkan.
Secara keseluruhan diartikan sebagai Keselamatan dan Kebahagiaan.
Sedangkan ketujuh macam dedaunan tersebut di atas berarti :
Daun Kalinjuhang, mempunyai sifat membangkitkan semangat yang telah lesu. Daun ini dapat diartikan sama dengan “panjang umur” dan “bertenaga”
Daun Pepulut, sifatnya “melengket” atau “tidak lekas lekang”. Daun ini memberi arti “Kekekalan”
Daun Gandarusa, adalah tangkal (perisai) terhadap “kecelakaan” yang mungkin dating dari alam gaib atau tenaga gaib
Pohon Jejurun, sifatnya sukar dicabut dan sukar mati, menjadi simbol “kelanjutan hidup”.
Daun sepenuh, mengingatkan kita kepada kata “penuh” yang berarti disini “penuh rezeki”
Pohon Sedingin, ialah tanda 'ketenangan' dan 'kesehatan'.
Pohon sembau, mempunyai akar sangat liat dan sukar dicabut, mengingatkan kita pada “kekuatan dan keteguhan”
Maka ke tujuh macam tumbuhan tersebut di atas adalah “seruan” dan “doa” tanpa suara untuk kesempurnaan orang yang ditepung tawari.
PERDUPAAN
Perdupaan dengan kemenyan atau setanggi yang dibakar dapat diartikan dengan pemujaan atau doa kepada Yang Maha Kuasa agar permintaan dimaksud dapat restu atau terkanul hendaknya. Perdupaan ini sangat jarang dilakukan pada upacara tepung tawar yang ada sekarang ini.
URUTAN PENEPUNG TAWARAN
Urutan yang menepung tawari adalah dimulai dari ibu bapaknya (serentak) dan kemudian diteruskan oleh ahli keluarga yang tertua dan terdekat sampai jumlah yang telah ditentukan semula dengan ketentuan mula-mula yang menepung tawari adalah kaum laki-laki, kemudian baru giliran kaum wanita. Anak beru ataupun seseorang yang ditugasi untuk itu, mendatangi dan menjemput orang yang harus menepung tawari itu serta mempersilahkan beliau sambil mengiringkannya pula dari belakang ke tempat upacara tepung tawar.
Selesai melakukan tepung tawar, beliau diantar pula ke tempat duduknya semula dan oleh anak beru atau orang yang ditugaskan untuk itu memberikan kepada beliau sebuah “bunga telor berkat”
CARA MELAKUKAN TEPUNG TAWAR
Orang yang hendak ditepung tawari mula-mula menerima ataupun mengambil sedikit (sejumput) beras putih, beras kuning, bertih danbunga rampai, llau menaburkannya ke atas haribaan atau keliling badan orang yang ditepung tawari, kadang-kadang disertai dengan ucapan ‘selamat’, “murah rezeki”’ “sehat”’ dan sebagainya.
Kemudian diambilnya berkas ikatan daun kalinjuhang dan daun lainnya, dicecahkan ke mangkuk puith yang berisi air dan beras putih serta irisan limau purut lalu dirinjis-rinjiskannya di atas kedua belah telapaktangan orang yang ditepungtawari. Selalu juga disertai dengan kata ‘selamat’. Kemudian barulah diambil sedikit tepung beras tadi dan dioleskan (dilekatkan) ke tapak tangan yang ditanuri. Semua acara di atas dilakukan dengan khidmat. Orangtua ada juga merinjis-rinjiskan berkas ikatan tersebut ke atas ubun-ubun (kepala) anaknya ataupunkeluarga termuda. Ini sebenarnya bersifat kemanja-manjaan saja , bukan kelaziman.
Jika yang ditepung tawari lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya di dalam keluarga ataupun masyarakat dari orang yang ditepung tawari, maka orang yang ditepung tawari telebih dahulu harus minta terima kasih dan memberi hormat dengan cara mengangkat kedua belah tangannya sewaktu hendak di tepung tawari. Yang menepung tawari membalas pula dengan mengangkat kedua belah tangannya juga, sebagai menerima tanda terima kasih atau penghormatan itu.
Sebaliknya yang akan terjadi, jika yang menepungtawari lebih muda, maka dialah terlebih dahulu yang harus memberi hormat.
Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.
Maka ditepung tawarilah yang berkepentingan dengan pengharapan ia akan tetap selamat dan bahagia hendaknya. Logat tepung tawar mulanya ialah TAMPUNG TAWAR, yaitu dalam kata “ditampung tangan untuk menerima penawar (obat)”
Tepung Tawar ini berasal dari zaman leluhur berpuluh abad yang lalu. Susunan tepung tawar yang biasa digunakan oleh masyarakat melayu dalam garis besarnya terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu :
- Ramuan Penabur
- Ramuan Rinjisan
- Pedupaan (Perasapan)
Ketiga bagian di atas dirinci pula sebagai berikut :
RAMUAN PENABUR
Di atas wadah terletak sepiring beras putih, sepiring beras kuning, sepiring bertih dan sepiring tepung beras, sebagai pelambang sebagai berikut :
- Beras putih = kesuburan
- Beras Kuning = kemuliaan, kesungguhan
- Bertih = perkembangan
- Bunga Rampai = keharuman (nama)
- Tepung beras = kebersihan hati.
- Arti keseluruhan dari bahan-bahan di atas adalah kebahagiaan
RAMUAN RINJISAN
Sebuah mangkuk putih (dulu tempurung kelapa puan) berisi air biasa, segenggam beras putih dan sebuah jeruk purut yang telah di iris-iris. Di dalam mangkuk tersebut juga diletakkan sebuah ikatan daun-daunan yang terdiri dari 7 macam daun, yaitu :
- Daun Kalinjuhang (silinjuhang)
- Tangkai pohon pepulut (sipulut) dengan daun
- Daun Gandarusa atau daun sitawar
- Daun jejerun (jerun-jerun)
- Daun sepenuh
- Daun sedingin
- Pohon sembau dengan akarnya
Ketujuh daun di atas diikat dengan akar atau benang jadi satu berkas kecil sebagai rinjisan. Adapun arti dari bahan-bahan di atas adalah sebagai berikut :
Mangkuk putih berisi air = kejernihan; beras = kesuburan; irisan-irisan jeruk purut = membersihkan.
Secara keseluruhan diartikan sebagai Keselamatan dan Kebahagiaan.
Sedangkan ketujuh macam dedaunan tersebut di atas berarti :
Daun Kalinjuhang, mempunyai sifat membangkitkan semangat yang telah lesu. Daun ini dapat diartikan sama dengan “panjang umur” dan “bertenaga”
Daun Pepulut, sifatnya “melengket” atau “tidak lekas lekang”. Daun ini memberi arti “Kekekalan”
Daun Gandarusa, adalah tangkal (perisai) terhadap “kecelakaan” yang mungkin dating dari alam gaib atau tenaga gaib
Pohon Jejurun, sifatnya sukar dicabut dan sukar mati, menjadi simbol “kelanjutan hidup”.
Daun sepenuh, mengingatkan kita kepada kata “penuh” yang berarti disini “penuh rezeki”
Pohon Sedingin, ialah tanda 'ketenangan' dan 'kesehatan'.
Pohon sembau, mempunyai akar sangat liat dan sukar dicabut, mengingatkan kita pada “kekuatan dan keteguhan”
Maka ke tujuh macam tumbuhan tersebut di atas adalah “seruan” dan “doa” tanpa suara untuk kesempurnaan orang yang ditepung tawari.
PERDUPAAN
Perdupaan dengan kemenyan atau setanggi yang dibakar dapat diartikan dengan pemujaan atau doa kepada Yang Maha Kuasa agar permintaan dimaksud dapat restu atau terkanul hendaknya. Perdupaan ini sangat jarang dilakukan pada upacara tepung tawar yang ada sekarang ini.
URUTAN PENEPUNG TAWARAN
Urutan yang menepung tawari adalah dimulai dari ibu bapaknya (serentak) dan kemudian diteruskan oleh ahli keluarga yang tertua dan terdekat sampai jumlah yang telah ditentukan semula dengan ketentuan mula-mula yang menepung tawari adalah kaum laki-laki, kemudian baru giliran kaum wanita. Anak beru ataupun seseorang yang ditugasi untuk itu, mendatangi dan menjemput orang yang harus menepung tawari itu serta mempersilahkan beliau sambil mengiringkannya pula dari belakang ke tempat upacara tepung tawar.
Selesai melakukan tepung tawar, beliau diantar pula ke tempat duduknya semula dan oleh anak beru atau orang yang ditugaskan untuk itu memberikan kepada beliau sebuah “bunga telor berkat”
CARA MELAKUKAN TEPUNG TAWAR
Orang yang hendak ditepung tawari mula-mula menerima ataupun mengambil sedikit (sejumput) beras putih, beras kuning, bertih danbunga rampai, llau menaburkannya ke atas haribaan atau keliling badan orang yang ditepung tawari, kadang-kadang disertai dengan ucapan ‘selamat’, “murah rezeki”’ “sehat”’ dan sebagainya.
Kemudian diambilnya berkas ikatan daun kalinjuhang dan daun lainnya, dicecahkan ke mangkuk puith yang berisi air dan beras putih serta irisan limau purut lalu dirinjis-rinjiskannya di atas kedua belah telapaktangan orang yang ditepungtawari. Selalu juga disertai dengan kata ‘selamat’. Kemudian barulah diambil sedikit tepung beras tadi dan dioleskan (dilekatkan) ke tapak tangan yang ditanuri. Semua acara di atas dilakukan dengan khidmat. Orangtua ada juga merinjis-rinjiskan berkas ikatan tersebut ke atas ubun-ubun (kepala) anaknya ataupunkeluarga termuda. Ini sebenarnya bersifat kemanja-manjaan saja , bukan kelaziman.
Jika yang ditepung tawari lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya di dalam keluarga ataupun masyarakat dari orang yang ditepung tawari, maka orang yang ditepung tawari telebih dahulu harus minta terima kasih dan memberi hormat dengan cara mengangkat kedua belah tangannya sewaktu hendak di tepung tawari. Yang menepung tawari membalas pula dengan mengangkat kedua belah tangannya juga, sebagai menerima tanda terima kasih atau penghormatan itu.
Sebaliknya yang akan terjadi, jika yang menepungtawari lebih muda, maka dialah terlebih dahulu yang harus memberi hormat.
Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.
Faren Malay : MELAYU KONSEPSI. fAREN MALAY
Oleh : Ellyzan Katan
Tamadun
Melayu mengenal konsepsi tentang patut; posisi ideal suatu peristiwa,
kelakuan, dan juga pemikiran. Patut di sini adalah ukuran yang bermain
di tengah kehidupan masyarakat di mana di dalamnya mengandung ketentuan
ketat antara yang sesuai dengan yang tidak sesuai. Sebagai contoh,
pemikiran yang patut bagi seorang Melayu dapat dilihat ketika dia
memikirkan suatu rencana kehidupan yang tidak menyinggung orang lain di
lingkungan sekitar. Ini dinamakan pemikiran yang patut. Sebaliknya, jika
dalam bentuk aksi, individu itu melanggar berbagai nilai dan norma yang
telah lama tertanam dalam diri manusia di lingkungannya, itu
jelas-jelas tidak patut. Intinya adalah yang tidak menimbulkan
pergesekan, konflik di tengah masyarakat, maka dinamakan patut.
Di sini, jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari, ukuran patut dan tidak patut akan dengan gampang untuk dilihat. Beberapa kasus kecurangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, yang pada ujung-ujungnya menimbulkan rasa tidak senang dari para peserta yang lainnya, juga dapat dikategorikan hal yang tidak patut. Itu adalah ketidak sesuaian antara “yang seharusnya” dengan “yang terjadi”. Dalam kasus kecurangan itu akan melibatkan banyak hujah; alasan yang melatarbelakangi lahirnya perbuatan yang tidak patut.
Namun dengan begitu pula, akan menunjukkan bahwa hingga saat ini, kategori patut dan tidak patut yang dikenal dalam Melayu, menjadi bias. Padahal diakui bahwa dengan mendudukkan kata patut dalam suatu pemikiran yang riil, menuntun kita untuk menghindari konflik. Bukan seperti sekarang, dari sebagian besar kasak kusuk kehidupan perpolitikan di tingkat lokal, justru mengarahkan opini yang ada pada jawaban yang sangat mengejutkan; kita telah lama meninggalkan konsepsi patut ini. Ini lantaran kata patut yang telah berjiwa dan berakar disejajarkan dengan semangat untuk meraih kekuasaan. Jadinya semua serba dangkal akan nilai kekeluargaan. Sementara kekuasaan pula, hanyalah jalan yang dapat melegalkan setiap pemikiran dan tingkah laku dari seorang pemimpin.
Sebelumnya, terlebih dahulu saya ingin menegaskan di sini bahwa bukan maksud saya untuk mematahkan logika berpikir dari setiap orang Melayu dalam memandang ketentuan negara. Padahal pada satu sisi, antara ketentuan yang dikeluarkan oleh negara dengan cara hidup puak Melayu ada kesamaan pandangan yang mesti disadari. Bukankah setiap peraturan perundangan-undangan yang ada diterima oleh setiap puak Melayu tanpa ada sedikit cela pun? Itu tandanya orang Melayu menyadari bahwa dengan adanya kepatuhan itu, segala yang mengarah pada hal-hal yang tidak patut dapat diminimalisir.
Lantas timbul pertanyaan. Termasukkah kasus korupsi di sini? Saya kira itu adalah pertanyaan yang sangat tepat untuk kita katakan sebagai pintu gerbang menuju suatu perubahan, bukan hanya perubahan hukum melainkan juga perubahan sosial.
Korupsi di sini, yang oleh undang-undang lebih ditekankan pada penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan baik materi maupun non materi, menyentuh urat nadi kehidupan Melayu. Akibat korupsi kesengsaraan mulai merayap ke mana-mana. Penduduk negeri yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini tak juga menemukan jalan lurus untuk meraih kesejahteraan. Padahal negara oleh Khan, mempunyai tugas sebagai penjaga malam. Itu artinya selain mampu memberikan rasa tenang juga harus mampu menyuguhkan kecukupan ekonomis. Namun jika sebaliknya negara tidak mampu untuk menerapkan ide dasar yang telah bersusah payah dilahirkan oleh Khan itu, saya khawatir teori benturan peradaban ala Huntington semakin menunjukkan gejala yang tegas.
Kita di sini, sebagai tamadun Melayu misalnya, masih mempunyai beberapa “alat” -kalau boleh saya berkata demikian- untuk mencari jalan keluar dari pergelutan masalah yang ada. Selain konsepsi patut, tentunya kita mengenal pula pantang larang.
Pantang larang di sini juga menyerupai dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara. Hanya saja perbedaannya lebih pada tataran kehidupan secara luas. Pantang larang dikenal dalam kehidupan keluarga-keluarga Melayu, sementara peraturan perundang-undangan sebagai suatu produk hukum, mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi baik sesama manusia maupun dengan negara. Yang pasti pantang larang dalam Melayu adalah bentuk-bentuk nilai dan norma yang tak terbantahkan. Saya kira saatnyalah kita kembali mengangkat segala seluk beluk kekayaan kulutural yang masih ada secara tradisional ke tengah kehidupan modern saat ini, tentu saja dengan penyesuaian yang lebih dianggal ideal bagi perkembangan dan kebutuhan zaman.
Memang dibutuhkan suatu pemahaman yang khusus untuk dapat mensejajarkan konsepsi patut dan pantang larang dalam Melayu dengan segala leguh legah kehidupan. Ini berarti juga puak Melayu memegang kuat-kuat teraju kultural agamis yang ada.
Jangan melakukan korupsi, itu tidak patut. Jangan berbuat kolusi, itu juga tidak patut. Alasannya masih ada pantang larang yang mesti diperhatikan sebab dengan begitu lahirlah tatanan kehidupan tamadun Melayu yang utuh bernuansa Melayu. Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas telah berkata; “Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan. Bukannya manusia yaitulah syaitan.”
Jauh-jauh hari, sang sastrawan besar Melayu itu telah menaburkan rambu-rambu dalam bermasyarakat, dan bernegara. Itu karena dalam kaca mata Melayu, antara patut dan tidak patut, tetap akan mengikut sertakan pantang larang di dalamnya. Sama ada sebagian dari kita masih menyangsikannya, itu urusan lain. Bukan mengapa, sekaranglah bagi kita untuk kembali mengingatkan diri tentang keberadaan nilai-nilai petuah Melayu menjadi wujud nyata untuk bertingkah laku.
Konsepsi patut perlu dikukuhkan lagi. Dengan bertingkah laku patut akan dapat memberikan ketenangan bukan hanya bagi diri pribadi, melainkan juga bagi lingkungan. Seseorang yang bertingkah patut dengan serta merta akan dapat memposisikan diri pada jalur kebaikan, tentu saja ia berada dalam lindungan Tuhan Yang Kuasa.
Nah, jika sudah sampai pada tahap ini, masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadinya konflik, baik horizontal maupun vertikal. Semua telah dapat diredam sedemikian rupa. Jadinya kawasan Melayu, sebagaimana dulu pernah diangan-angankan oleh para raja-raja sebagai kawasan yang luas, yang didalamnya dapat memberikan ketenangan lahir dan batin, dapat diwujudkan. Kehidupan mengalir dengan sempurna sesuai kehendak dan harapan.
Saat itu tidak akan lagi dijumpai perselisihan sebab perselisihan telah dipadamkan dengan sendirinya oleh kesadaran akan berkelakuan yang patut. Begitu juga terhadap pertembungan antara kejahatan dan kebaikan, terkikis dengan sendirinya.
Ah, betapa saya kerap membayangkan tamadun Melayu akan menjunjung tinggi kata patut dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Betapa saya selalu menghayalkan puak Melayu menemukan jalannya untuk menumbuhkan kesadaran akan patut dan tidak patut serta keberadaan pantang larang. Mudah-mudahan dengan begitu semua petuah yang terkandung dalam Gurindam Duabelas dapat menjadi bukan hanya sekedar pajangan dilemari kebudayaan belaka, melainkan sebagai petunjuk. Bukankah setiap pekerjaan yang telah benar, tidak akan menimbulkan onar?
Di sini, jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari, ukuran patut dan tidak patut akan dengan gampang untuk dilihat. Beberapa kasus kecurangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, yang pada ujung-ujungnya menimbulkan rasa tidak senang dari para peserta yang lainnya, juga dapat dikategorikan hal yang tidak patut. Itu adalah ketidak sesuaian antara “yang seharusnya” dengan “yang terjadi”. Dalam kasus kecurangan itu akan melibatkan banyak hujah; alasan yang melatarbelakangi lahirnya perbuatan yang tidak patut.
Namun dengan begitu pula, akan menunjukkan bahwa hingga saat ini, kategori patut dan tidak patut yang dikenal dalam Melayu, menjadi bias. Padahal diakui bahwa dengan mendudukkan kata patut dalam suatu pemikiran yang riil, menuntun kita untuk menghindari konflik. Bukan seperti sekarang, dari sebagian besar kasak kusuk kehidupan perpolitikan di tingkat lokal, justru mengarahkan opini yang ada pada jawaban yang sangat mengejutkan; kita telah lama meninggalkan konsepsi patut ini. Ini lantaran kata patut yang telah berjiwa dan berakar disejajarkan dengan semangat untuk meraih kekuasaan. Jadinya semua serba dangkal akan nilai kekeluargaan. Sementara kekuasaan pula, hanyalah jalan yang dapat melegalkan setiap pemikiran dan tingkah laku dari seorang pemimpin.
Sebelumnya, terlebih dahulu saya ingin menegaskan di sini bahwa bukan maksud saya untuk mematahkan logika berpikir dari setiap orang Melayu dalam memandang ketentuan negara. Padahal pada satu sisi, antara ketentuan yang dikeluarkan oleh negara dengan cara hidup puak Melayu ada kesamaan pandangan yang mesti disadari. Bukankah setiap peraturan perundangan-undangan yang ada diterima oleh setiap puak Melayu tanpa ada sedikit cela pun? Itu tandanya orang Melayu menyadari bahwa dengan adanya kepatuhan itu, segala yang mengarah pada hal-hal yang tidak patut dapat diminimalisir.
Lantas timbul pertanyaan. Termasukkah kasus korupsi di sini? Saya kira itu adalah pertanyaan yang sangat tepat untuk kita katakan sebagai pintu gerbang menuju suatu perubahan, bukan hanya perubahan hukum melainkan juga perubahan sosial.
Korupsi di sini, yang oleh undang-undang lebih ditekankan pada penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan baik materi maupun non materi, menyentuh urat nadi kehidupan Melayu. Akibat korupsi kesengsaraan mulai merayap ke mana-mana. Penduduk negeri yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini tak juga menemukan jalan lurus untuk meraih kesejahteraan. Padahal negara oleh Khan, mempunyai tugas sebagai penjaga malam. Itu artinya selain mampu memberikan rasa tenang juga harus mampu menyuguhkan kecukupan ekonomis. Namun jika sebaliknya negara tidak mampu untuk menerapkan ide dasar yang telah bersusah payah dilahirkan oleh Khan itu, saya khawatir teori benturan peradaban ala Huntington semakin menunjukkan gejala yang tegas.
Kita di sini, sebagai tamadun Melayu misalnya, masih mempunyai beberapa “alat” -kalau boleh saya berkata demikian- untuk mencari jalan keluar dari pergelutan masalah yang ada. Selain konsepsi patut, tentunya kita mengenal pula pantang larang.
Pantang larang di sini juga menyerupai dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara. Hanya saja perbedaannya lebih pada tataran kehidupan secara luas. Pantang larang dikenal dalam kehidupan keluarga-keluarga Melayu, sementara peraturan perundang-undangan sebagai suatu produk hukum, mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi baik sesama manusia maupun dengan negara. Yang pasti pantang larang dalam Melayu adalah bentuk-bentuk nilai dan norma yang tak terbantahkan. Saya kira saatnyalah kita kembali mengangkat segala seluk beluk kekayaan kulutural yang masih ada secara tradisional ke tengah kehidupan modern saat ini, tentu saja dengan penyesuaian yang lebih dianggal ideal bagi perkembangan dan kebutuhan zaman.
Memang dibutuhkan suatu pemahaman yang khusus untuk dapat mensejajarkan konsepsi patut dan pantang larang dalam Melayu dengan segala leguh legah kehidupan. Ini berarti juga puak Melayu memegang kuat-kuat teraju kultural agamis yang ada.
Jangan melakukan korupsi, itu tidak patut. Jangan berbuat kolusi, itu juga tidak patut. Alasannya masih ada pantang larang yang mesti diperhatikan sebab dengan begitu lahirlah tatanan kehidupan tamadun Melayu yang utuh bernuansa Melayu. Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas telah berkata; “Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan. Bukannya manusia yaitulah syaitan.”
Jauh-jauh hari, sang sastrawan besar Melayu itu telah menaburkan rambu-rambu dalam bermasyarakat, dan bernegara. Itu karena dalam kaca mata Melayu, antara patut dan tidak patut, tetap akan mengikut sertakan pantang larang di dalamnya. Sama ada sebagian dari kita masih menyangsikannya, itu urusan lain. Bukan mengapa, sekaranglah bagi kita untuk kembali mengingatkan diri tentang keberadaan nilai-nilai petuah Melayu menjadi wujud nyata untuk bertingkah laku.
Konsepsi patut perlu dikukuhkan lagi. Dengan bertingkah laku patut akan dapat memberikan ketenangan bukan hanya bagi diri pribadi, melainkan juga bagi lingkungan. Seseorang yang bertingkah patut dengan serta merta akan dapat memposisikan diri pada jalur kebaikan, tentu saja ia berada dalam lindungan Tuhan Yang Kuasa.
Nah, jika sudah sampai pada tahap ini, masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadinya konflik, baik horizontal maupun vertikal. Semua telah dapat diredam sedemikian rupa. Jadinya kawasan Melayu, sebagaimana dulu pernah diangan-angankan oleh para raja-raja sebagai kawasan yang luas, yang didalamnya dapat memberikan ketenangan lahir dan batin, dapat diwujudkan. Kehidupan mengalir dengan sempurna sesuai kehendak dan harapan.
Saat itu tidak akan lagi dijumpai perselisihan sebab perselisihan telah dipadamkan dengan sendirinya oleh kesadaran akan berkelakuan yang patut. Begitu juga terhadap pertembungan antara kejahatan dan kebaikan, terkikis dengan sendirinya.
Ah, betapa saya kerap membayangkan tamadun Melayu akan menjunjung tinggi kata patut dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Betapa saya selalu menghayalkan puak Melayu menemukan jalannya untuk menumbuhkan kesadaran akan patut dan tidak patut serta keberadaan pantang larang. Mudah-mudahan dengan begitu semua petuah yang terkandung dalam Gurindam Duabelas dapat menjadi bukan hanya sekedar pajangan dilemari kebudayaan belaka, melainkan sebagai petunjuk. Bukankah setiap pekerjaan yang telah benar, tidak akan menimbulkan onar?
Ranai, 23 Oktober 2008
_______________________________________________________________________________
MERETAS IDENTITAS MELAYU BARU
Oleh : Mahyudin Al-Mudra
Pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu mesti beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sepertinya sudah tidak kontekstual dan memadai lagi, terlebih lagi di era globalisasi dan multikultural seperti sekarang ini.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa proposisi di atas diajukan. Pertama, mempertimbangkan fakta sejarah tentang migrasi orang-orang Melayu dari Teluk Tonkin (wilayah Yunan), Tiongkok Barat Daya, menuju nusantara yang berlangsung melalui dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung sekitar 5000-1500 tahun SM. Gelombang migrasi pertama orang-orang Melayu ini, atau yang disebut sebagai Melayu Tua (Proto Melayu), kemudian melahirkan keturunan-keturunan seperti Suku Batak, Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Nias di Sumatra, juga Suku Dayak di Kalimantan. Gelombang kedua, yang selanjutnya disebut sebagai Melayu Muda (Deutro Melayu), berlangsung sekitar 200-300 tahun SM. Disebabkan oleh penguasaan teknologi yang lebih baik, kehadiran orang-orang Melayu Muda ini selanjutnya membuat para pendahulunya terdesak karena kalah bersaing, sehingga orang-orang Melayu Tua terpaksa menyingkir ke kawasan-kawasan pedalaman. Karena posisinya yang lebih dominan, orang-orang Melayu Muda juga dengan leluasa menyebar ke seluruh penjuru nusantara untuk mengembangkan pemukiman baru. Dari keturunan mereka inilah kelak lahir suku-suku seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan suku-suku berbahasa Minangkabau (Yuanzi, 2005: 3-4).
Jika merujuk pada pendapat di atas, bisa dipastikan bahwa sebagian besar penduduk nusantara saat ini adalah tergolong rumpun Melayu (atau ras Mongoloid), kecuali sebagian besar penduduk asli di bumi Papua (ras Negrito) dan Suku Badui di Jawa Barat, serta Suku Toala di Sulawesi, yang tergolong ras Wedda. Mengenai dua suku yang disebut terakhir, memang masih debatable. Sebagian ahli menyebut mereka termasuk rumpun Melayu Tua, karena bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan sebagian besar orang Melayu, sedang yang lain menganggap tidak –karena mereka telah eksis jauh sebelum terjadi migrasi gelombang pertama orang-orang Yunan ke nusantara.
Kedua, mengkerutnya dimensi ruang-waktu akibat penetrasi globalisasi. Sebagai sebuah tren global, globalisasi telah menyediakan infrastruktur kebudayaan yang memungkinkan orang bergerak secara lebih leluasa, berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, melakukan kawin campur dengan ras lain, atau mengadopsi identitas dan budaya orang lain. Fenomena ini juga tidak bisa dihindari oleh orang-orang Melayu, sehingga bukan bukan hal yang aneh ketika saat ini kita menjumpai banyak orang Melayu tidak lagi tinggal di kawasan Melayu dan tidak lagi mempraktekkan tradisi dan budaya Melayu.
Berangkat dari dua alasan di atas, sebuah identitas baru bagi puak-puak Melayu cukup urgen untuk diwacanakan. Namun, tulisan ini tidak bermaksud menyuarkan kembali identitas romantik kemelayuan yang bernuansa eksklusif, sebagaimana tercermin dalam gagasan Melayu Raya dalam sistem Pan-Malaysianisme yang diwacanakan oleh Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an. Tulisan ini hendak menawarkan yang sebaliknya --berusaha mengafirmasi keragaman ekspresi berbudaya puak-puak Melayu di nusantara (bahkan dunia) –yang dalam konteks tertentu telah mengalami transformasi cukup massif akibat kehidupan dunia yang senantiasa berubah.
Ragam ekspresi
Meskipun secara historis suku-suku yang tinggal di nusantara dapat dianggap berasal dari nenek moyang yang sama, namun tersebab faktor-faktor tertentu mereka akhirnya membangun identitas kebudayaan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan orang-orang Eropa, yang konon juga berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu suku-suku bar-bar yang tinggal di kawasan –yang sekarang ini lebih dikenal sebagai Skandinavia.
Jika keragaman ekspresi kebudayaan nusantara direntang dari Sabang sampai Merauke, bisa dipastikan tak ada negara manapun di dunia ini yang memiliki tingkat keragaman budaya melebihi Indonesia. Terdapat ratusan, bahkan ribuan adat istiadat yang terbabar mulai dari tata cara perkawinan, tarian adat, pakaian adat, cara bercocok tanam, cara menyambut tamu, pembagian warisan, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketika hal-hal yang lebih abstrak juga dibandingan –misalnya saja tentang pandangan hidup –akan dijumpai betapa negeri kepulauan yang bernama Indonesia ini dihuni oleh ratusan kelompok etnik dengan berbagai macam konsep kosmologi dan sistem religi.
Bahkan, setelah “agama impor” (Hindu, Budha, Kristen, Islam) datang dan mulai menancapkan pengaruhnya di Indonesia, karakter universalnya tetap saja tak mampu menghapus keragaman adat-istiadat yang berkembang di nusantara. Dalam konteks tertentu, justru agama-agama tersebut yang dipaksa harus berdamai dengan adat-istiadat lokal. Sekedar contoh, sebut saja Islam Wetutelu yang berkembang di Lombok, Islam Kejawen, Islam Suku Talang Mamak, Islam Suku Kajang, atau agama adat Batak dengan konsep Debata na tolu-nya, yang dipengaruhi ajaran tri-murti agama Hindu.
Mendefinisikan identitas kemelayuan di tengah fakta sosial yang menyuguhkan keragaman ekspresi kebudayaan memang bukan persoalan mudah. Namun, hal inilah yang justru menjadi tantangan tersendiri. Selagi ihktiar tetap diniatkan di atas prinsip toleransi dan saling menghormati, keragaman budaya bukanlah kutukan, melainkan berkah sosial yang tak ternilai harganya.
Perspektif holistik-integratif
Melihat betapa beragamnya ekspresi identitas dan kebudayaan puak-puak Melayu di nusantara, terlebih lagi di dunia, membuat perspektif lama yang menganggap bahwa orang Melayu harus beragama Islam, beradat dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sudah saatnya dikoreksi. Sebab, Melayu sebagai sebuah identitas kultural sejatinya tidak dapat direduksi berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.
Jika merujuk pada dua alasan di atas, setidaknya ada tiga implikasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat identitas Melayu secara baru. Pertama, lantaran hampir semua suku bangsa yang tinggal di nusantara adalah keturunan orang-orang Yunan dari tanah Tiongkok, yang selanjutnya disebut sebagai orang Melayu, maka sebagian besar penduduk Indonesia saat ini dengan sendirinya juga dapat disebut sebagai orang Melayu. Kedua, setelah orang-orang Melayu ini menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan membentuk adat-istiadatnya masing-masing, maka menghubungkan Melayu hanya dengan suku, adat, wilayah, dan (bahkan) agama tertentu adalah tindakan yang ahistoris.
Ketiga, seiring dengan laju globalisasi yang kian pesat, banyak orang-orang Melayu diaspora yang tinggal di kawasan dan mengadopsi identitas kultural non-Melayu. Bahkan, dalam konteks tertentu, mereka telah tercerabut dari akar budaya Melayu-nya dan memilih untuk mengadopsi identitas yang lebih kosmopolit –identitas universal yang berusaha melampaui asal-usul.
Bertolak dari implikasi di atas, dan tentu dengan sekian keterbatasan, saya mencoba menawarkan sebuah identitas Melayu secara lebih holistik. Holistik dalam konteks ini tidak berkonotasi pada sebuah pengandaian yang mengatasi segala bentuk perbedaan. Justru sebaliknya, perspektif holistik yang saya tawarkan adalah afirmasi terhadap perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan suku, agama, adat, budaya, juga kewarganegaraan, bukanlah kendala untuk menciptakan persaudaraan antara puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Identitas Melayu baru adalah pengandaian yang dibuat berdasarkan kesadaran betapa multikulturalisme adalah fakta sosial yang tidak dapat ditampik. Identitas Melayu baru ibarat rumah yang menyediakan ruang tanpa batas untuk berbagi ekspresi bagi puak-puak Melayu di seluruh penjuru dunia. Identitas Melayu baru adalah ‘medan kontestasi‘ bagi siapapun yang merasa dan menganggap dirinya sebagai puak Melayu. Perbedaan, ketegangan, ataupun pola-pola transformasi yang berhubungan dengan pembentukan identitas kemelayuan, tidak dianggap sebagai bibit-bibit persengketaan, melainkan modal kultural yang berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan dialog kultural yang dilandasi semangat saling memahami dan toleransi.
Sumber : Koran Tempo Minggu 3 Agustus 2008
Mahyudin Al Mudra adalah Pendiri dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu mesti beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sepertinya sudah tidak kontekstual dan memadai lagi, terlebih lagi di era globalisasi dan multikultural seperti sekarang ini.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa proposisi di atas diajukan. Pertama, mempertimbangkan fakta sejarah tentang migrasi orang-orang Melayu dari Teluk Tonkin (wilayah Yunan), Tiongkok Barat Daya, menuju nusantara yang berlangsung melalui dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung sekitar 5000-1500 tahun SM. Gelombang migrasi pertama orang-orang Melayu ini, atau yang disebut sebagai Melayu Tua (Proto Melayu), kemudian melahirkan keturunan-keturunan seperti Suku Batak, Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Nias di Sumatra, juga Suku Dayak di Kalimantan. Gelombang kedua, yang selanjutnya disebut sebagai Melayu Muda (Deutro Melayu), berlangsung sekitar 200-300 tahun SM. Disebabkan oleh penguasaan teknologi yang lebih baik, kehadiran orang-orang Melayu Muda ini selanjutnya membuat para pendahulunya terdesak karena kalah bersaing, sehingga orang-orang Melayu Tua terpaksa menyingkir ke kawasan-kawasan pedalaman. Karena posisinya yang lebih dominan, orang-orang Melayu Muda juga dengan leluasa menyebar ke seluruh penjuru nusantara untuk mengembangkan pemukiman baru. Dari keturunan mereka inilah kelak lahir suku-suku seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan suku-suku berbahasa Minangkabau (Yuanzi, 2005: 3-4).
Jika merujuk pada pendapat di atas, bisa dipastikan bahwa sebagian besar penduduk nusantara saat ini adalah tergolong rumpun Melayu (atau ras Mongoloid), kecuali sebagian besar penduduk asli di bumi Papua (ras Negrito) dan Suku Badui di Jawa Barat, serta Suku Toala di Sulawesi, yang tergolong ras Wedda. Mengenai dua suku yang disebut terakhir, memang masih debatable. Sebagian ahli menyebut mereka termasuk rumpun Melayu Tua, karena bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan sebagian besar orang Melayu, sedang yang lain menganggap tidak –karena mereka telah eksis jauh sebelum terjadi migrasi gelombang pertama orang-orang Yunan ke nusantara.
Kedua, mengkerutnya dimensi ruang-waktu akibat penetrasi globalisasi. Sebagai sebuah tren global, globalisasi telah menyediakan infrastruktur kebudayaan yang memungkinkan orang bergerak secara lebih leluasa, berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, melakukan kawin campur dengan ras lain, atau mengadopsi identitas dan budaya orang lain. Fenomena ini juga tidak bisa dihindari oleh orang-orang Melayu, sehingga bukan bukan hal yang aneh ketika saat ini kita menjumpai banyak orang Melayu tidak lagi tinggal di kawasan Melayu dan tidak lagi mempraktekkan tradisi dan budaya Melayu.
Berangkat dari dua alasan di atas, sebuah identitas baru bagi puak-puak Melayu cukup urgen untuk diwacanakan. Namun, tulisan ini tidak bermaksud menyuarkan kembali identitas romantik kemelayuan yang bernuansa eksklusif, sebagaimana tercermin dalam gagasan Melayu Raya dalam sistem Pan-Malaysianisme yang diwacanakan oleh Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an. Tulisan ini hendak menawarkan yang sebaliknya --berusaha mengafirmasi keragaman ekspresi berbudaya puak-puak Melayu di nusantara (bahkan dunia) –yang dalam konteks tertentu telah mengalami transformasi cukup massif akibat kehidupan dunia yang senantiasa berubah.
Ragam ekspresi
Meskipun secara historis suku-suku yang tinggal di nusantara dapat dianggap berasal dari nenek moyang yang sama, namun tersebab faktor-faktor tertentu mereka akhirnya membangun identitas kebudayaan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan orang-orang Eropa, yang konon juga berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu suku-suku bar-bar yang tinggal di kawasan –yang sekarang ini lebih dikenal sebagai Skandinavia.
Jika keragaman ekspresi kebudayaan nusantara direntang dari Sabang sampai Merauke, bisa dipastikan tak ada negara manapun di dunia ini yang memiliki tingkat keragaman budaya melebihi Indonesia. Terdapat ratusan, bahkan ribuan adat istiadat yang terbabar mulai dari tata cara perkawinan, tarian adat, pakaian adat, cara bercocok tanam, cara menyambut tamu, pembagian warisan, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketika hal-hal yang lebih abstrak juga dibandingan –misalnya saja tentang pandangan hidup –akan dijumpai betapa negeri kepulauan yang bernama Indonesia ini dihuni oleh ratusan kelompok etnik dengan berbagai macam konsep kosmologi dan sistem religi.
Bahkan, setelah “agama impor” (Hindu, Budha, Kristen, Islam) datang dan mulai menancapkan pengaruhnya di Indonesia, karakter universalnya tetap saja tak mampu menghapus keragaman adat-istiadat yang berkembang di nusantara. Dalam konteks tertentu, justru agama-agama tersebut yang dipaksa harus berdamai dengan adat-istiadat lokal. Sekedar contoh, sebut saja Islam Wetutelu yang berkembang di Lombok, Islam Kejawen, Islam Suku Talang Mamak, Islam Suku Kajang, atau agama adat Batak dengan konsep Debata na tolu-nya, yang dipengaruhi ajaran tri-murti agama Hindu.
Mendefinisikan identitas kemelayuan di tengah fakta sosial yang menyuguhkan keragaman ekspresi kebudayaan memang bukan persoalan mudah. Namun, hal inilah yang justru menjadi tantangan tersendiri. Selagi ihktiar tetap diniatkan di atas prinsip toleransi dan saling menghormati, keragaman budaya bukanlah kutukan, melainkan berkah sosial yang tak ternilai harganya.
Perspektif holistik-integratif
Melihat betapa beragamnya ekspresi identitas dan kebudayaan puak-puak Melayu di nusantara, terlebih lagi di dunia, membuat perspektif lama yang menganggap bahwa orang Melayu harus beragama Islam, beradat dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sudah saatnya dikoreksi. Sebab, Melayu sebagai sebuah identitas kultural sejatinya tidak dapat direduksi berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.
Jika merujuk pada dua alasan di atas, setidaknya ada tiga implikasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat identitas Melayu secara baru. Pertama, lantaran hampir semua suku bangsa yang tinggal di nusantara adalah keturunan orang-orang Yunan dari tanah Tiongkok, yang selanjutnya disebut sebagai orang Melayu, maka sebagian besar penduduk Indonesia saat ini dengan sendirinya juga dapat disebut sebagai orang Melayu. Kedua, setelah orang-orang Melayu ini menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan membentuk adat-istiadatnya masing-masing, maka menghubungkan Melayu hanya dengan suku, adat, wilayah, dan (bahkan) agama tertentu adalah tindakan yang ahistoris.
Ketiga, seiring dengan laju globalisasi yang kian pesat, banyak orang-orang Melayu diaspora yang tinggal di kawasan dan mengadopsi identitas kultural non-Melayu. Bahkan, dalam konteks tertentu, mereka telah tercerabut dari akar budaya Melayu-nya dan memilih untuk mengadopsi identitas yang lebih kosmopolit –identitas universal yang berusaha melampaui asal-usul.
Bertolak dari implikasi di atas, dan tentu dengan sekian keterbatasan, saya mencoba menawarkan sebuah identitas Melayu secara lebih holistik. Holistik dalam konteks ini tidak berkonotasi pada sebuah pengandaian yang mengatasi segala bentuk perbedaan. Justru sebaliknya, perspektif holistik yang saya tawarkan adalah afirmasi terhadap perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan suku, agama, adat, budaya, juga kewarganegaraan, bukanlah kendala untuk menciptakan persaudaraan antara puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Identitas Melayu baru adalah pengandaian yang dibuat berdasarkan kesadaran betapa multikulturalisme adalah fakta sosial yang tidak dapat ditampik. Identitas Melayu baru ibarat rumah yang menyediakan ruang tanpa batas untuk berbagi ekspresi bagi puak-puak Melayu di seluruh penjuru dunia. Identitas Melayu baru adalah ‘medan kontestasi‘ bagi siapapun yang merasa dan menganggap dirinya sebagai puak Melayu. Perbedaan, ketegangan, ataupun pola-pola transformasi yang berhubungan dengan pembentukan identitas kemelayuan, tidak dianggap sebagai bibit-bibit persengketaan, melainkan modal kultural yang berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan dialog kultural yang dilandasi semangat saling memahami dan toleransi.
Sumber : Koran Tempo Minggu 3 Agustus 2008
Mahyudin Al Mudra adalah Pendiri dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
________________________________________________________________________________
DODOI
Orang Melayu selalu mengidamkan anaknya menjadi ‘orang’, dalam
pengertian menjadi orang yang berhasil, baik lahir maupun batin. Oleh
sebab itu, mereka sangat memperhatikan pendidikan anak-anak sejak dini.
Berbagai cara mereka gunakan sebagai media unutk menyampaikan ajaran
agama dan adat resam, dengan harapan, ajaran agama dan adat resam
tersebut tertanam dalam di sanubari anak-anak mereka. Salah satu media
yang digunakan para orang tua adalah lagu dodoi. Kalau kita pergi
jalan-jalan ke desa-desa Melayu, masih sering terdengar seorang ibu
bersenandung menidurkan anaknya dalam buaian atau gendongan. Lirik
lagu-lagu dodoi tersebut biasanya berisi ajaran moral dan nasihat. Maka,
melalui senandung lagu dodoi tersebut, seorang ibu bisa melakukan dua
hal sekaligus: menidurkan anak, dan pada saat yang sama mengajari
anaknya nilai-nilai moral dan agama. Berikut ini beberapa contoh
lagu-lagu dodoi yang sering disenandungkan oleh seorang ibu ketika
menidurkan anaknya; seorang nenek ketika menidurkan cucunya; ataupun
seorang kakak ketika menidurkan adiknya:
“Ya Allah Malikul Rahman
Anakku ini berilah iman
Amal ibadat minta kuatkan
Setan iblis minta jauhkan”
“Dari kecil cencilak padi
Sesudah besar cencilak padang
Darilah kecil duduk mengaji
Sesudah besar tegak sembahyang”
“Pucuk dedap selera dedap
Sudah bertangkai setapak jari
Duduklah anak membaca kitab
Sesudah pandai tegak berdiri”
“Apa berdebuk seberang pekan
Buli-buli yang kena jerat
Buah yang mabuk jangan dimakan
Batang berduri usah dipanjat”
“Jangan suka mematahkan parang
Tangan luka gagangnya rusak
Jangan suka menyusahkan orang
Tuhan murka orang pun muak”
“Mencabut tebu tidaklah mudah
Banyak sekali duri lalangnya
Menuntut ilmu tidaklah mudah
Bayak sekali aral halangnya”
“Petang Jumat memukul bedug
Sesudah azan orang pun qamat
Peganglah amanat elok-elok
Supaya badan hidup selamat”
“Jong-jong inai
Mak Ipung rajawali
Tersepak tunggul inai
Berdarah ibu kaki”
“Pok amai-amai
Belalang kupu-kupu
Tepuk adek pandai
Kalau malam minum susu
Susu lemak manis
Santan kelapa muda
Adik jangan menangis
Emak ayah pergi kerja”
“Emak gali kunyit
Kawan gali rebung
Banyak dapat duit
Simpan dalam tabung
Berikut sebuah contoh lagu dodoi yang lain:
DODOI SI DODOI
Buah hatiku junjungan jiwa (2x)
Tidur-tidurlah ya anak
Ibu dodoikan ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....
Reff.
Janganlah anak suka menangis (2x)
Ayahmu jauh ya anak
Di rantau orang ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....
Tidurlah anak dalam ayunan (2x)
Tidurlah nyenyak ya anak
Sambil kubuai ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....
Sumber:
Tenas Effendy. 2004. Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Majelis Peperiksaan Malaysia. Mutiara Sastra Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: 2005
Rabu, 29 Oktober 2008
Kejayaan dan Keistimewaan Melayu
DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa
yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan
berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan
Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara
dari Cina.
Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.
Menurut catatan sejarah, Raja Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.
Laksamana Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.
Tak sampai di situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia. Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.
Inilah cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu, bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata, tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.
Jika sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa.
Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam' (1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).
Semua ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima ilmu yang dapat memajukan mereka.
Kemunculan kaum intelektual, cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir Melayu.
Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…
sumber : http://melayuiin.blogspot.com/
Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.
Menurut catatan sejarah, Raja Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.
Laksamana Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.
Tak sampai di situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia. Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.
Inilah cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu, bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata, tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.
Jika sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa.
Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam' (1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).
Semua ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima ilmu yang dapat memajukan mereka.
Kemunculan kaum intelektual, cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir Melayu.
Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…
sumber : http://melayuiin.blogspot.com/
SENJATA TRADISIONAL MELAYU
Senjata tradisional amat berkait rapat dengan sejarah Melayu yang diwarisi oleh orang Melayu sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka lagi. Persejarahan senjata di Malaysia amat rapat dengan unsur-unsur seni mempertahankan diri seperti silat. Keterampilan rekacipta Pandai Besi maka kepelbagaian alat persenjataan telah terhasil, antara yang amat digemari sehingga kini seperti keris, parang, kelewang, beladau, tombak dan banyak lagi.
Peranan senjata amatlah penting dalam naluri hidup manusia, selain dari digunakan sebagai alat berperang atau mempertahankan diri serta hiasan ianya juga dikaitkan dengan unsur-unsur alam ghaib. Sesetengah mereka mempercayai sesuatu senjata itu mempunyai kuasa dalaman yang dapat membantu mempertingkatkan ilmu kebatinan kepada si pemiliknya.
Kelok-kelok yang dibentuk pada senjata melambangkan nilai-nilai estetika yang tersendiri dalam menggambarkan daya imaginasi kemelayuan sejak zaman-berzaman dengan teliti dan kreatif. Dengan pelbagai bentuk senjata tradisional yang kebanyakkannya berasal-usul dari luar yang diwarisi oleh nenek moyang mereka juga melambangkan ketinggian daya pemikiran dalam mengungkapkan segala makna yang tersurat dan tersirat.
Pada kebanyakan senjata seperti keris, lawi ayam, tumbuk lada, kelewang serta beberapa rumpunan yang serupa dengannya akan dihiasi dengan hulu yang diukir indah serta diberikan nama-nama tertentu seperti Jawa Demam, Kepala Nuri, Anak Ayam Teleng dan lain-lain. Tidak ketinggalan juga dengan sarung atau rangka yang kebiasaannya diperbuat dari kayu yang baik seperti teras nangka, tempinis, kayu kemuning, raja kayu dan sebagainya.
sumber : http://malaysiana.pnm.my/
__________________________________________________________________________________
Faren Malay : FALSAFAH HIDUP SUKU BANGSA MELAYU
FALSAFAH HIDUP SUKU BANGSA MELAYU
Suku bangsa melayu itu dalam falsafah hidupnya dapat disimpulkan berlandaskan pada 5 dasar, yaitu :
1. Melayu itu Islam,
yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah.
2. Melayu itu berbudaya,
yang sifatnya nasional dalam bahsa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku, dan lain-lain.
3. Melayu itu beradat,
yang sifatnya regional (kedaerahan)dalam bhineka tunggal ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang mnegikat tua dan muda.
4. Melayu itu berturai,
yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam masyarakat.
5. Melayu itu berilmu,
artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan (agama dan mistik), agar bermarwah dan disegani orang, untuk kebaikan umum.
Rukun tertib yang dimaksudkan puak melayu adalah keadilan dan kebenaran yang harus dapat dirasa dan dilihat.
Ia mengetahui, bahwa :
ISLAM tidak bertentangan dengan masyarakat yang berperikemanusiaan dan yang ber-Tuhan.
BUDAYA tidak bertentangan dengan masyarakat yang ingin beradab dan mengingkat lahiriah dan bathiniah
ADAT tak bertentangan dengan peradaban masyarakat yang ada rasa kekeluargaan, bukan individualistis.
BERTURAI tak bertentangan dengan masyarakat yang tahu harga diri, yang ingin kebenaran, keadilan dan kemakmuran yang merata dalam kehidupan.
BERILMU tak bertentangan dengan masyarakat yang ingin maju untuk kepentingan diri dan masyarakatnya. pengabdian adalah pada Allah, manusia dan lingkungan, untuk kebahagiaan diri sekarang dan nanti.
1. Melayu itu Islam,
yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah.
2. Melayu itu berbudaya,
yang sifatnya nasional dalam bahsa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku, dan lain-lain.
3. Melayu itu beradat,
yang sifatnya regional (kedaerahan)dalam bhineka tunggal ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang mnegikat tua dan muda.
4. Melayu itu berturai,
yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam masyarakat.
5. Melayu itu berilmu,
artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan (agama dan mistik), agar bermarwah dan disegani orang, untuk kebaikan umum.
Rukun tertib yang dimaksudkan puak melayu adalah keadilan dan kebenaran yang harus dapat dirasa dan dilihat.
Ia mengetahui, bahwa :
ISLAM tidak bertentangan dengan masyarakat yang berperikemanusiaan dan yang ber-Tuhan.
BUDAYA tidak bertentangan dengan masyarakat yang ingin beradab dan mengingkat lahiriah dan bathiniah
ADAT tak bertentangan dengan peradaban masyarakat yang ada rasa kekeluargaan, bukan individualistis.
BERTURAI tak bertentangan dengan masyarakat yang tahu harga diri, yang ingin kebenaran, keadilan dan kemakmuran yang merata dalam kehidupan.
BERILMU tak bertentangan dengan masyarakat yang ingin maju untuk kepentingan diri dan masyarakatnya. pengabdian adalah pada Allah, manusia dan lingkungan, untuk kebahagiaan diri sekarang dan nanti.
Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.
Senin, 26 Maret 2012
Faren Malay : TUNJUK AJAR MELAYU
Tunjuk Ajar
adalah sejenis petuah, petunjuk, nasehat, amanah, pengajaran , contoh
teladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melihat kepada isi, maka
tunjuk ajar berisikan nilai-nilai luhur agama islam yang sangat sesuai dengan budaya dan norma-norma sosial yang dianut masyarakat, baik orang tua, remaja dan anak-anak.
Kedudukan tunjuk ajar bagi orang melayu sangat tinggi dan penting, dan karena itu orang yang tidak memahami mengamalkan tunjuk ajar disebut kurang ajar. Agar kita tidak menjadi orang yang kurang ajar bacalah tunjuk ajar melayu.
Bertanam Budi
Apa Tanda Melayu jati
elok perangai mulia budi pekerti
sakit senang menanam budi
Apa tanda Melayu jati
Hidunya Tahu membalas budi
Apa tandanya melayu jati,
membalas budi sampailah mati
Apa tanda Melayu jaiti,
Karena budi berani mati
Apa tabda Melayu Jati,
Temakan budi ia takuti
Apa tanda Melayu terpilih
Bertanam budi tiada memilih
Apa tanda Melayu Pilihan
Bertanam Budi jadi amalan
Apa tanda Melayu pilihan
Bertanam budi jadi amalan
Apa tanda Melayu Pilihan,
Temakan budi ia elakkan,
bertanam budi ia galakkan
Apa tanda Melayu terbilang
jujur di muka, lurus dibilang
Apa tanda Melayu bertuah
Batinya jujur dan lembut lidah.
sumber : terubuk.com
Faren Malay : JENIS-UKIRAN KAYU RIAU
Jenis-jenis
Ukuran Kayu Riau, Bentuk ukiran mengacu pada moti-motif melayu
yang khas, yaitu pada lariknya yang tidak patah-patah dan memiliki lengkungan
yang bebas.
Ukiran dapat dibedakan berdasarkan teknik pembuatan , yaitu :
Ukiran dapat dibedakan berdasarkan teknik pembuatan , yaitu :
a. Ukiran Tembus
Ukiran mulai dari garis luar sampai tembus kedalam dari motif yang dibuat tembus berelief. Ukiran tembus dapat dilihat pada bangunan rumah tradisional melayu Riau, seperti pada :
· Selembayung
· Sayap layang-layang
· Ventilasi
· Mimbar Mesjid sultan Siak
· Mesjid Raya Pekanbaru
· Lebah Bergantung
· Kisi-kisi jendela
· Ukiran pada nisan makam
· Mesjid penyengat
b. Ukiran Datar
Mengukir hanya pada garis bagian luar saja dari motif yang dibuat relief. Bentuk ukiran ini banyak terdapat :
· Daun pintu dan jendela
· Sebagian dari dinding
· Tiang bagian luar
· Tangga
· Peralatan rumah Tangga
· Senjata (keris, parang, dsb).
Article By : Pijan Vijan
www.terubuk.com
Faren Malay : RAGAM MOTIF MELAYU RIAU
Ragam Motif Melayu (Ukiran/Tenunan)
Sebagaimana daerah lainnya, Melayu juga terkenal dengan ragam motif (berbagai corak, ragi, hias, acuan induk, bentuk dasar, bentuk asal, pola) untuk ukiran, tenunan, atau bahkan hanya untuk gambar hiasan. Melayu memiliki beraneka ragam motif dasar yang menjadi khazanah budaya sejak ratusan tahun lalu sampai ke jaman kerajaan Riau-Lingga dan sampai sekarang pun masih tetap dipergunakan dan dilestarikan. Ragam motif melayu ini umumnya diterapkan pada ukiran kayu, ukiran perunggu, ukiran perak, maupun ukiran emas, serta pada bahan ukir lainnya. Ukiran juga diterapkan pada tenunan kain semisal di daerah Siak, Daik Lingga, Pelalawan, Inderagiri, Bengkalis, Siantan, dan daerah lainnya. Ragam motof ini diajarkan turun temurun semisal ayah mengajarkan ukiran pada kayu, atau ibunya mengajarkan anak perempuannya untuk menenun.
Ragam motif melayu bukan hanya sekedar gambar, ukiran atau tenunan yang menjadi hiasan semata, tetapi mempunyai makna dan falsafah tertentu menjadi lambang dan nilai-nilai luhur budaya Melayu. Jadi Ragam Motif Melayu mempunyai dua fungsi yaitu :
1.Hiasan
2.Penyebarluasannilai-luhurbudayaMelayu
Ragam motif diatur penempatan yang tepat padan sesuai oleh adat. Ada yang untuk tenunan, sulaman, tekat, suji, anyaman, hiasan bangunan, bahkan untuk lambang kerajaan. Sebagian lagi bisa dipergunakan untuk serbaguna dimana saja. Secara umum, berbagai ragam morif ini mempunyai kesamaan nama dan bentuk pada berbagai daerah, tetapi ada juga yang berbeda. Tetapi semuanya mengacu kepada kesamaan yang mendasar yakni budaya Melayu yang mengacukepada ajaran agama Islam.
Terkikisnya kerajaan-kerajaan Melayu telah ikut memudarkan ragam motif Melayu itu sendiri, walau tidaklah hilang sepenuhnya. Banyak perajin ukiran dan tenunan yang berkurang jauh dari pada sebelumnya. Untuk Kepulauan Riau, khususnya di Daik Lingga, kerajinan perunggu, tenunan, sulam dan suji telah lesap (hilang sejak berpuluh tahun lalu), kecuali tekat. Saat ini sudah tidak bisa dengan mudah mencari orang yang bisa menenun. Ragam motif yang ada dahulu menjadi terbiar dan akhirnya sebagian mengalami kepunahan. Begitu juga di tempat-tempat lain di Riau. Pemerintah beserta masyarakat telah berupaya untuk membangkitkan kembali ragam motif Melayu, sehingga sekarang sudah mulai ada yang mencoba untuk belajar menenun, mengukir, dan membuat hiasan bangunan.
Sebagaimana daerah lainnya, Melayu juga terkenal dengan ragam motif (berbagai corak, ragi, hias, acuan induk, bentuk dasar, bentuk asal, pola) untuk ukiran, tenunan, atau bahkan hanya untuk gambar hiasan. Melayu memiliki beraneka ragam motif dasar yang menjadi khazanah budaya sejak ratusan tahun lalu sampai ke jaman kerajaan Riau-Lingga dan sampai sekarang pun masih tetap dipergunakan dan dilestarikan. Ragam motif melayu ini umumnya diterapkan pada ukiran kayu, ukiran perunggu, ukiran perak, maupun ukiran emas, serta pada bahan ukir lainnya. Ukiran juga diterapkan pada tenunan kain semisal di daerah Siak, Daik Lingga, Pelalawan, Inderagiri, Bengkalis, Siantan, dan daerah lainnya. Ragam motof ini diajarkan turun temurun semisal ayah mengajarkan ukiran pada kayu, atau ibunya mengajarkan anak perempuannya untuk menenun.
Ragam motif melayu bukan hanya sekedar gambar, ukiran atau tenunan yang menjadi hiasan semata, tetapi mempunyai makna dan falsafah tertentu menjadi lambang dan nilai-nilai luhur budaya Melayu. Jadi Ragam Motif Melayu mempunyai dua fungsi yaitu :
1.Hiasan
2.Penyebarluasannilai-luhurbudayaMelayu
Ragam motif diatur penempatan yang tepat padan sesuai oleh adat. Ada yang untuk tenunan, sulaman, tekat, suji, anyaman, hiasan bangunan, bahkan untuk lambang kerajaan. Sebagian lagi bisa dipergunakan untuk serbaguna dimana saja. Secara umum, berbagai ragam morif ini mempunyai kesamaan nama dan bentuk pada berbagai daerah, tetapi ada juga yang berbeda. Tetapi semuanya mengacu kepada kesamaan yang mendasar yakni budaya Melayu yang mengacukepada ajaran agama Islam.
Terkikisnya kerajaan-kerajaan Melayu telah ikut memudarkan ragam motif Melayu itu sendiri, walau tidaklah hilang sepenuhnya. Banyak perajin ukiran dan tenunan yang berkurang jauh dari pada sebelumnya. Untuk Kepulauan Riau, khususnya di Daik Lingga, kerajinan perunggu, tenunan, sulam dan suji telah lesap (hilang sejak berpuluh tahun lalu), kecuali tekat. Saat ini sudah tidak bisa dengan mudah mencari orang yang bisa menenun. Ragam motif yang ada dahulu menjadi terbiar dan akhirnya sebagian mengalami kepunahan. Begitu juga di tempat-tempat lain di Riau. Pemerintah beserta masyarakat telah berupaya untuk membangkitkan kembali ragam motif Melayu, sehingga sekarang sudah mulai ada yang mencoba untuk belajar menenun, mengukir, dan membuat hiasan bangunan.
Ragam Motif Melayu
- Motif Pucuk Rebung
- Kaluk Pakis
- Bidai Ragam Motif Melayu
- Awan Larat Ragam Motif Melayu
- Pucuk Rebung - Ragam Motif Melayu
- Makna dan Falsafah Ragam Motif Melayu
- Penggunaan Ragam Motif Melayu
- Ragam Motif Melayu (Ukiran/Tenunan) - 02
Contoh gambar motif
Langganan:
Postingan (Atom)
SYAIR RINTIHAN RAJA MELAYU
Syair Rintihan Raja Melayu Assalamualaikum pemula bicara, Kepada semua isi negara, Hamba rakyat raja di pura, Moga selamat aman sejahtera...
-
PROSESI ADAT PERKAWINAN MELAYU RIAU (THE RIAU MALAY WEDDING PROCCES) Setelah melalui proses yang cukup panjang , dimulai ...
-
Selatpanjang pertama kali ditemukan oleh seorang pengembara perempuan yang bernama Cik Saedah . Sebelum menjadi selatpanjang, perta...
-
Ragam Motif Melayu (Ukiran/Tenunan) Sebagaimana daerah lainnya, Melayu juga terkenal dengan ragam motif (berbagai corak, ragi, hias,...